Apa saja
pelajaran yang bisa kita ambil dari ibadah qurban dan haji? Kami sarikan lima
pelajaran yang moga bermanfaat bagi kita sekalian.
1-
Belajar untuk ikhlas
Dari
ibadah qurban yang dituntut adalah keikhlasan dan ketakwaan, itulah yang dapat
menggapai ridha Allah. Daging dan darah itu bukanlah yang dituntut, namun dari
keikhlasan dalam berqurban. Allah Ta’ala berfirman,
لَنْ
يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى
مِنْكُمْ
“Daging-daging
unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah,
tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS. Al Hajj: 37)
Untuk
ibadah haji pun demikian, kita diperintahkan untuk ikhlas, bukan cari gelar dan
cari sanjungan. Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa ia mendengar Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ
حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ
أُمُّهُ
“Siapa
yang berhaji karena Allah lalu tidak berkata-kata seronok dan tidak berbuat
kefasikan maka dia pulang ke negerinya sebagaimana ketika dilahirkan oleh
ibunya.” (HR. Bukhari no. 1521).
Ini
berarti berqurban dan berhaji bukanlah ajang untuk pamer amalan dan kekayaan,
atau riya’.
2-
Belajar untuk mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Dalam
berqurban ada aturan atau ketentuan yang mesti dipenuhi. Misalnya, mesti
dihindari cacat yang membuat tidak sah (buta sebelah, sakit yang jelas,
pincang, atau sangat kurus) dan cacat yang dikatakan makruh (seperti sobeknya
telinga, keringnya air susu, ekor yang terputus). Umur hewan qurban harus masuk
dalam kriteria yaitu hewan musinnah, untuk kambing minimal 1 tahun dan sapi
minimal dua tahun. Waktu penyembelihan pun harus sesuai tuntunan dilakukan
setelah shalat Idul Adha, tidak boleh sebelumnya. Kemudian dalam penyaluran
hasil qurban, jangan sampai ada maksud untuk mencari keuntungan seperti dengan
menjual kulit atau memberi upah pada tukang jagal dari sebagian hasil qurban.
Jika ketentuan di atas dilanggar di mana ketentuan tersebut merupakan syarat,
hewan yang disembelih tidaklah disebut qurban, namun disebut daging biasa.
Al Bara’
bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu menuturkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyampaikan khutbah kepada para sahabat pada hari Idul Adha setelah
mengerjakan shalat Idul Adha. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ
صَلَّى صَلاَتَنَا وَنَسَكَ نُسُكَنَا فَقَدْ أَصَابَ النُّسُكَ ، وَمَنْ نَسَكَ
قَبْلَ الصَّلاَةِ فَإِنَّهُ قَبْلَ الصَّلاَةِ ، وَلاَ نُسُكَ لَهُ
“Siapa
yang shalat seperti shalat kami dan menyembelih kurban seperti kurban kami,
maka ia telah mendapatkan pahala kurban. Barangsiapa yang berkurban sebelum
shalat Idul Adha, maka itu hanyalah sembelihan yang ada sebelum shalat dan
tidak teranggap sebagai kurban.”
Abu Burdah
yang merupakan paman dari Al Bara’ bin ‘Azib dari jalur ibunya berkata,
يَا
رَسُولَ اللَّهِ ، فَإِنِّى نَسَكْتُ شَاتِى قَبْلَ الصَّلاَةِ ، وَعَرَفْتُ أَنَّ
الْيَوْمَ يَوْمُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ ، وَأَحْبَبْتُ أَنْ تَكُونَ شَاتِى أَوَّلَ مَا
يُذْبَحُ فِى بَيْتِى ، فَذَبَحْتُ شَاتِى وَتَغَدَّيْتُ قَبْلَ أَنْ آتِىَ
الصَّلاَةَ
“Wahai
Rasulullah, aku telah menyembelih kambingku sebelum shalat Idul Adha. Aku tahu
bahwa hari itu adalah hari untuk makan dan minum. Aku senang jika kambingku
adalah binatang yang pertama kali disembelih di rumahku. Oleh karena itu, aku
menyembelihnya dan aku sarapan dengannya sebelum aku shalat Idul Adha.”
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata,
شَاتُكَ
شَاةُ لَحْمٍ
“Kambingmu
hanyalah kambing biasa (yang dimakan dagingnya, bukan kambing kurban).” (HR.
Bukhari no. 955)
Begitu
pula dalam ibadah haji hendaklah sesuai tuntunan, tidak bisa kita beribadah
asal-asalan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لِتَأْخُذُوا
مَنَاسِكَكُمْ فَإِنِّى لاَ أَدْرِى لَعَلِّى لاَ أَحُجُّ بَعْدَ حَجَّتِى هَذِهِ
“Ambillah
dariku manasik-manasik kalian, karena sesungguhnya aku tidak mengetahui,
mungkin saja aku tidak berhaji setelah hajiku ini”. (HR. Muslim no. 1297, dari
Jabir).
Ini menunjukkan
bahwa ibadah qurban dan haji serta ibadah lainnya mesti didasari ilmu. Jika
tidak, maka sia-sialah ibadah tersebut. ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz pernah berkata,
مَنْ
عَبَدَ اللَّهَ بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ مَا يُفْسِدُ أَكْثَرَ مِمَّا يُصْلِحُ
“Siapa
yang beribadah kepada Allah tanpa didasari ilmu, maka kerusakan yang ia perbuat
lebih banyak daripada maslahat yang diperoleh.” (Majmu’ Al Fatawa, 2: 282)
3- Belajar untuk sedekah harta
Dalam
ibadah qurban, kita diperintahkan untuk belajar bersedekah, begitu pula haji.
Karena saat itu, hartalah yang banyak diqurbankan. Apakah benar kita mampu
mengorbankannya? Padahal watak manusia sangat cinta sekali pada harta.
Ingatlah,
harta semakin dikeluarkan dalam jalan kebaikan dan ketaatan akan semakin berkah.
Sehingga jangan pelit untuk bersedekah karena tidak pernah kita temui pada
orang yang berqurban dan berhaji yang mengorbankan jutaan hartanya jadi
bangkrut.
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أنفقي
أَوِ انْفَحِي ، أَوْ انْضَحِي ، وَلاَ تُحصي فَيُحْصِي اللهُ عَلَيْكِ ، وَلاَ
تُوعي فَيُوعي اللهُ عَلَيْكِ
“Infaqkanlah
hartamu. Janganlah engkau menghitung-hitungnya (menyimpan tanpa mau
mensedekahkan). Jika tidak, maka Allah akan menghilangkan berkah rezeki
tersebut. Janganlah menghalangi anugerah Allah untukmu. Jika tidak, maka Allah
akan menahan anugerah dan kemurahan untukmu.” (HR. Bukhari no. 1433 dan Muslim
no. 1029)
Ingat pula
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا
أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
“Dan
barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah
Pemberi rezki yang sebaik-baiknya.” (QS. Saba’: 39).
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pula,
مَا
نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ
“Sedekah
tidaklah mengurangi harta.” (HR. Muslim no. 2588, dari Abu Hurairah)
Imam
Nawawi berkata, “Kekurangan harta bisa ditutup dengan keberkahannya atau
ditutup dengan pahala di sisi Allah.” (Syarh Shahih Muslim, 16: 128).
4-
Belajar untuk meninggalkan larangan
Dalam
ibadah qurban ada larangan bagi shahibul qurban yang mesti ia jalankan ketika
telah masuk 1 Dzulhijjah hingga hewan qurban miliknya disembelih. Walaupun
hikmah dari larangan ini tidak dinashkan atau tidak disebutkan dalam dalil,
namun tetap mesti dijalankan karena sifat seorang muslim adalah sami’na wa
atho’na, yaitu patuh dan taat.
Dari Ummu
Salamah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا
رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِى الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ
فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ
“Jika
kalian telah menyaksikan hilal Dzulhijjah (maksudnya telah memasuki 1
Dzulhijjah, -pen) dan kalian ingin berqurban, maka hendaklah shohibul qurban
tidak memotong rambut dan kukunya.” (HR. Muslim no. 1977).
Lebih-lebih
lagi dalam ibadah haji dan umrah, saat berihram jamaah tidak diperkenankan
mengenakan wewangian, memotong rambut dan kuku, mengenakan baju atau celana
yang membentuk lekuk tubuh (bagi pria), tidak boleh menutup kepala serta tidak
boleh mencumbu istri hingga menyetubuhinya.
Dari
‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa ada seseorang yang
berkata pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يَا
رَسُولَ اللَّهِ مَا يَلْبَسُ الْمُحْرِمُ مِنَ الثِّيَابِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
– صلى الله عليه وسلم – « لاَ يَلْبَسُ الْقُمُصَ وَلاَ الْعَمَائِمَ وَلاَ
السَّرَاوِيلاَتِ وَلاَ الْبَرَانِسَ وَلاَ الْخِفَافَ ، إِلاَّ أَحَدٌ لاَ يَجِدُ
نَعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ خُفَّيْنِ ، وَلْيَقْطَعْهُمَا أَسْفَلَ مِنَ
الْكَعْبَيْنِ ، وَلاَ تَلْبَسُوا مِنَ الثِّيَابِ شَيْئًا مَسَّهُ الزَّعْفَرَانُ
أَوْ وَرْسٌ »
“Wahai
Rasulullah, bagaimanakah pakaian yang seharusnya dikenakan oleh orang yang
sedang berihram (haji atau umrah, -pen)?”
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak boleh mengenakan kemeja, sorban,
celana panjang kopiah dan sepatu, kecuali bagi yang tidak mendapatkan sandal,
maka dia boleh mengenakan sepatu. Hendaknya dia potong sepatunya tersebut
hingga di bawah kedua mata kakinya. Hendaknya dia tidak memakai pakaian yang
diberi za’faran dan wars (sejenis wewangian, -pen).” (HR. Bukhari no.
1542)
Dalam
riwayat Bukhari disebutkan,
وَلاَ
تَنْتَقِبِ الْمَرْأَةُ الْمُحْرِمَةُ وَلاَ تَلْبَسِ الْقُفَّازَيْنِ
“Hendaknya
wanita yang sedang berihram tidak mengenakan cadar dan sarung tangan.” (HR.
Bukhari no. 1838).
5- Belajar untuk rajin berdzikir
Dalam
ibadah qurban diwajibkan membaca bismillah dan disunnahkan untuk bertakbir saat
menyembelih qurban.
Dari Anas
radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
ضَحَّى
النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ ، فَرَأَيْتُهُ
وَاضِعًا قَدَمَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا يُسَمِّى وَيُكَبِّرُ ، فَذَبَحَهُمَا
بِيَدِهِ .
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berqurban (pada Idul Adha) dengan dua
kambing yang gemuk. Aku melihat beliau menginjak kakinya di pangkal leher dua
kambing itu. Lalu beliau membaca bismillah dan bertakbir, kemudian beliau
menyembelih keduanya dengan tangannya.”
Sejak
sepuluh hari pertama Dzulhijjah, kita pun sudah diperintahkan untuk banyak
bertakbir. Allah Ta’ala berfirman,
وَيَذْكُرُوا
اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ
“Dan
supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan” (QS. Al
Hajj: 28). ‘Ayyam ma’lumaat’ menurut salah satu penafsiran adalah sepuluh hari
pertama Dzulhijjah. Pendapat ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama di
antaranya Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Al Hasan Al Bashri, ‘Atho’, Mujahid,
‘Ikrimah, Qotadah dan An Nakho’i, termasuk pula pendapat Abu Hanifah, Imam Asy
Syafi’i dan Imam Ahmad (pendapat yang masyhur dari beliau). Lihat perkataan
Ibnu Rajab Al Hambali dalam Lathoif Al Ma’arif, hal. 462 dan 471.
Allah Ta’ala berfirman,
وَاذْكُرُوا
اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلَا إِثْمَ
عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ لِمَنِ اتَّقَى وَاتَّقُوا
اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
“Dan
berzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang terbilang.”
(QS. Al Baqarah: 203). Ibnu ‘Umar dan ulama lainnya mengatakan bahwa ayyamul
ma’dudat adalah tiga hari tasyriq. Ini menunjukkan adanya perintah berdzikir di
hari-hari tasyriq.
Imam
Bukhari rahimahullah menyebutkan,
وَقَالَ
ابْنُ عَبَّاسٍ وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِى أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ أَيَّامُ الْعَشْرِ
، وَالأَيَّامُ الْمَعْدُودَاتُ أَيَّامُ التَّشْرِيقِ . وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ
وَأَبُو هُرَيْرَةَ يَخْرُجَانِ إِلَى السُّوقِ فِى أَيَّامِ الْعَشْرِ
يُكَبِّرَانِ ، وَيُكَبِّرُ النَّاسُ بِتَكْبِيرِهِمَا . وَكَبَّرَ مُحَمَّدُ بْنُ
عَلِىٍّ خَلْفَ النَّافِلَةِ .
Ibnu
‘Abbas berkata, “Berdzikirlah kalian pada Allah di hari-hari yang ditentukan
yaitu 10 hari pertama Dzulhijah dan juga pada hari-hari tasyriq.” Ibnu ‘Umar
dan Abu Hurairah pernah keluar ke pasar pada sepuluh hari pertama Dzulhijah,
lalu mereka bertakbir, lantas manusia pun ikut bertakbir. Muhammad bin ‘Ali pun
bertakbir setelah shalat sunnah. (Dikeluarkan oleh Bukhari tanpa sanad
(mu’allaq), pada Bab “Keutamaan beramal di hari tasyriq”)
Ibadah
thawaf, sa’i dan melempar jumrah pun dilakukan dalam rangka berdzikir pada
Allah. Dari ‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا
جُعِلَ الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ وَبَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ وَرَمْىُ
الْجِمَارِ لإِقَامَةِ ذِكْرِ اللَّهِ
“Sesungguhnya
thawaf di Ka’bah, melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah dan melempar jumrah
adalah bagian dari dzikrullah (dzikir pada Allah)” (HR. Abu Daud no. 1888,
Tirmidzi no. 902 dan Ahmad 6: 46. At Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan
shahih. Syaikh Al Albani dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits
ini dho’if)
Di
hari-hari tasyriq, kita pun diperintahkan untuk membaca doa sapu jagad. Allah
Ta’ala berfirman,
فَإِذَا
قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ أَوْ
أَشَدَّ ذِكْرًا فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا
وَمَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ, وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا
فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Apabila
kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berzikirlah (dengan menyebut)
Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu,
atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara manusia ada
orang yang berdoa: “Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia”, dan
tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat. Dan di antara mereka
ada orang yang berdoa: “Robbana aatina fid dunya hasanah wa fil akhiroti
hasanah wa qina ‘adzaban naar” [Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia
dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka].” (QS. Al
Baqarah: 200-201)
Dari ayat
ini kebanyakan ulama salaf menganjurkan membaca do’a “Robbana aatina fid dunya
hasanah wa fil akhiroti hasanah wa qina ‘adzaban naar” di hari-hari tasyriq.
Sebagaimana hal ini dikatakan oleh ‘Ikrimah dan ‘Atho’. (Lihat Latho-if Al
Ma’arif, hal. 505-506).
Ini semua
mengajarkan pada kita untuk rajin berdzikir.
عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُسْرٍ رضى الله عنه أَنَّ رَجُلاً قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ
إِنَّ شَرَائِعَ الإِسْلاَمِ قَدْ كَثُرَتْ عَلَىَّ فَأَخْبِرْنِى بِشَىْءٍ
أَتَشَبَّثُ بِهِ. قَالَ « لاَ يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ »
Dari
‘Abdullah bin Busr radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ada seseorang yang
berkata pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah,
syariat Islam sungguh banyak dan membebani kami. Beritahukanlah padaku suatu
amalan yang aku bisa konsisten dengannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
pun bersabda, “Hendaklah lisanmu tidak berhenti dari berdzikir pada Allah.”
(HR. Tirmidzi no. 3375, Ibnu Majah no. 3793, dan Ahmad 4: 188, Shahih menurut
Syaikh Al Albani).
Semoga
pelajaran di atas berharga bagi yang mau mengambil pelajaran. Hanya Allah yang
memberi taufik.