Senin, 05 Februari 2018

Aku,Dilan,Dan Guru Budi

Saya mengalami semacam syndrome Dilan saat seorang teman meng-update status tentang PKS yang mengambil Dilan sebagai Ikon Kampanye, atau Saat pendukung Zulrahmi banyak menggunakan gaya komunikasi Dilan saat menyampaikan ajakan memberi dukungan kepada cagub dan cawagub dari Demokrat dan PKS ini, hadirnya tulisan berikut tidak semuanya adalah hasil fikiran saya namun merupakan buah fikiran sahabat saya di Kompasiana.com bernama Bambang Trim,
Beberapa hari ke belakang begitu berkecamuk di benak saya tentang anak muda Indonesia. Pertama, tentang tokoh fiktif rekaan Pidi Baiq bernama Dilan yang segera menjadi magnet sebangsa dan setanah air. Kedua, tentang merasa gagahnya seorang mahasiswa mengacungkan "kartu kuning" kepada Presiden Jokowi sebagai bentuk peringatan dan protes terhadap beberapa permasalahan bangsa yang menurutnya belum tuntas. Ketiga, tentu saja kabar menyesakkan dada tentang seorang guru SMA muda yang dipanggil Pak Budi harus tewas di tangan muridnya saat proses belajar mengajar.
sampai dengan paragraph ini banyak factor yang menjadi perhatian bagi saya yang secara pribadi, jujur saya tak pernah mampu atau punya kuasa untuk menentukan suratan takdir sendiri, sebagai guru honor saya kadang risih dan miris mendengar dan menyaksikan pemberitaan di media massa atau elektronik yang memuat kisah guru budi cahyono yang meninggal akibat dianiaya siswanya.
dalam kesempatan yang sama juga beberapa statemen banyak disinggung Bambang sebagai upaya koreksi kepada generasi jaman Now atau meminjam istilah Dilanis bagi penggemarnya karena bagaimanapun juga kehadiran dilan dalam novel adalah sesuatu yang tak bisa dihapus sebagaisebuah literature walaupun sifatnya fiktif rekaan namun esensinya tetap saja terasa, kata bambang begini,
Kisah Dilan, mahasiswa bernama Zaadit, dan Pak Budi seperti menyambungkan sehelai benang merah dari sehelai kain hasil tenun kebangsaan. Romantis, heroik, sekaligus miris yang membuat benang merah itu mengandung warna delima dan darah. Warna itu dipercayai beberapanya terbentuk dari literasi.
Menulis (tentang ini) itu berat. Kamu nggak kan kuat. Biar aku saja.
Namun, saya paksakan tetap menulis keesokan harinya .... begitu tutur Bambang.
Sikap, sosok, dan tutur Dilan memang terbilang istimewa---unik sekaligus nyeleneh. Kalimat-kalimat yang diutarakannya kepada Milea adalah rayuan-rayuan gombal versi ori, bukan KW. Saya kira pastilah para gadis yang menonton ini ataupun mantan gadis era 1990-an dibuat bapertingkat nasional.
Rindu itu berat .... Kamu nggak kan kuat. Biar aku saja!
Ungkapan ini mendadak viral di media sosial, lalu dimodifikasi secara berjemaah. Begitu pula ungkapan berikut ini yang melambungkan hati seorang gadis bernama Milea.
Cemburu itu hanya untuk orang-orang yang tidak percaya diri. Dan sekarang aku lagi tidak percaya diri ....
sangat baik dan mulia andaikan banyak diantara anak murid dan generasi saya yang terhipnotis oleh tokoh dilan menelisisk ulang muatan yang terkandung dalam tokoh fiktif mereka, seperti yang di tuturkan Bambang berikut ini saat membandingkan dilan dengan tokoh yang seusianya Lupus,
Berbeda dengan tokoh Dilan yang super-romantis, tokoh Lupus tidak demikian. Lupus lebih populer dengan kekocakan dan kedegilannya. Lupus didesain sebagai cerita komedi remaja dengan aneka peristiwa. Namun, kisah percintaan selalu ada sebagai bumbu yang menarik sepanjang masa.
Dilan tentu tampak lebih perkasa dari Lupus. Ia adalah panglima perang dari geng motor serta digambarkan jagoan dengan jaket blue jeansbelel dan tunggangan motor Honda CB 100.
pada bagian ini yang paling saya harapkan untuk generasi dan Dilanis Indonesia era Mileneal atau Jaman NOW, mereka harus berani dan tegas dalam memfilter segala bentuk literasi yang mungkin saja keliru dan kurang pas dijadikan standar dan acuan dalam mengidolakan siapa saja karena itu adalah privatisasi dan hak masing-masing namun tak ada salahnya bambang menjelaskan begini,
Kejagoan Dilan salah satunya terlihat pada adegan ia melawan Pak Suripto yang menarik kerah bajunya, lalu menampar wajahnya. Tiba-tiba adegan ini mengingatkan saya suatu hari di kelas 3 Fisika 3 (SMAN 5 Medan). Tiba-tiba wali kelas saya menghardik seorang siswa yang ribut di kelas. Namun, entah mengapa teman saya yang lain berdiri dan menantang si wali kelas dengan suara tinggi. Itu peristiwa langka, seorang murid berani menantang gurunya. Namun, itu adalah fakta.
Jadi, kasus Dilan itu terjadi akibat ketegangan bertensi tinggi antara guru dan murid. Adalah hal biasa pada 1980-an dan 1990-an seorang guru menampar, menjambak, menendang, atau menempeleng muridnya--tak memandang guru lelaki atau guru perempuan. Ada yang diam tak berkutik dan ada pula yang akhirnya melawan seperti Dilan.
Dilan berkilah, "Saya tidak melawan guru. Saya melawan Suripto ...." (tanpa lagi ada kata "pak" untuk menunjukkan ketidakhormatannya).
Dalam kisah Lupus tidak ada kekerasan faktual semacam itu yang terjadi pada era 1980-an dan 1990-an. Lupus adalah karya literasi yang manis dan lucu, sedangkan Dilan adalah karya literasi manis dan gagah.

Efek Dilan memberi banyak pelajaran, terutama untuk mendorong mengenal penulisnya, Pidi Baiq. Beliau yang kerap dipanggil Surayah atau Ayah oleh para "pengikutnya" dapat menjadi duta literasi ke SMA-SMA agar menihilkan kasus yang terjadi pada Pak Guru Budi atau membahas kasus "kartu kuning" secara ringan dan lucu. Daya literasi itu saya percayai dapat didesain pada suatu bangsa, apalagi dengan memanfaatkan pengaruh dari karya-karya yang meledak dan mengalihkan perhatian generasi milenial pada buku.[]