Rabu, 27 September 2017

Mari Berhijrah

# Muharram dan Sekte-sekte Politis #
Tanggal 10 Muharram tahun 61 kalender Islam. Perang tak seimbang itu tidak harus terjadi. Hanya sekitat 120 orang dari pihak Imam Husein Ali melawan ribuan pasukan Yazid I dibawah pimpinan Umar Bin Sa’ad. Banjir darah terjadi. Seluruh muslim Syi’ah mengenang peristiwa itu sebagai peristiwa menyakitkan. Peristiwa Karbala!
Pembuka diatas hanya setitik sejarah dari rangkaian panjang pertikaian politik yang berakhir duka diantara ummat Islam setelah wafatnya Rasulullah. Kelak, segala macam pertentangan yang beraroma kekuasaan inilah yang secara faktual menyebabkan ummat Islam terpecah menjadi puluhan golongan yang berbeda dalam hal penafsiran agama satu sama lain.
Api ketegangan sudah muncul saat peristiwa terbunuhnya Usman Bin Affan, khalifah ketiga Ummat Islam yang menggantikan posisi Rasulullah setelah Abu Bakar dan Umar Bin Khattab. Usman adalah salah seorang suku Quraisy serta sahabat yang berjasa besar dalam proses perjuangan Nabi. Ia kemudian diberi amanah menjadi khalifah dalam sebuah rapat demokratis yang dihadiri Ali bin Abi thalib,Thalhah bin Ubaidillah ,Zubair bin Awwam dan Saad bin abi waqash, plus sahabat-sahabat lainnya. Malang baginya, hidup sang pemimpin berakhir dengan tidak wajar. Ia dibunuh.
Tibalah giliran Ali Bin Abi Talib yang memimpin. Siapa yang tak kenal dia, pemuda sepupu dan menantu Nabi, yang padanya diberikan keluasan ilmu dan ketangkasan berperang. Sayang, Ali terpilih dalam kondisi politik tidak stabil. Sejumlah tokoh lain seperti Thalhah, Zubair, termasuk Muawiah yang merupakan kerabat Usman Bin Affan, secara terang-terangan menolak kepemimpinannya. Ia disangkut-pautkan dengan kasus terbunuhnya Usman dan memancing kebencian Muawiyah yang pada masa selanjutnya akan menjadi peletak cikal bakal Dinasti Umayyah yang memburu pengikut Ali dimanapun berada.
Terjadi perang Siffin pada tahun 36 Hijriyah (657 M) antara pihak Ali dan Muawiyah. Kepemimpinan Ali berakhir dengan terbunuhnya ia oleh orang-orang yang justru mencintainya tetapi kesal atas sikap lembeknya terhadap musuh. Sistem pemerintahan pasca Ali berubah drastis dari demokratis ke monarki (dinasti). Dinasti Umayyah muncul dibawah komando Muawiyah yang merupakan musuh kelompok Ali.
# Sekte-sekte politis
Terpecahnya ummat Islam menjadi puluhan aliran/sekte pada masa-masa perkembangan Islam adalah fakta sejarah. Lebih jauh lagi, fakta sejarah juga menunjukkan bahwa munculnya aliran-aliran dalam Islam diawali oleh pertentangan politik. Segala macam fondasi akidah, fiqih dan pandangan-pandangan keagamaan yang berkembang di masing-masing aliran terjadi belakangan setelah aliran-aliran tersebut membentuk diri.
Dimulai dari masa akhir kepemimpinan Ali sebagai Khalifah. Sebagian pengikut setia yang menganggap Ali terlalu lembut pada musuh-musuhnya terutama Muawiyah, memisahkan diri darinya. Dalam sejarahnya, mereka ini disebut kaum Khawarij yang secara bahasa berarti “keluar kelompok”. Kaum Khawarij membenci Ali dan Muawiyah. Mereka merencanakan pembunuhan kepada keduanya, namun hanya berhasil membunuh Ali. Ali sendiri tidaklah kehabisan pengikut. Masih banyak yang mengikuti garis politiknya. Mereka disebut Syiah seperti yang kita kenal hingga saat ini.
Lambat laun, pelan dan pasti, Khawarij dan Syiah memiliki landasan tafsir berbeda terhadap agama dalam konteks kesejarahan mereka masing-masing. Khawarij misalnya, memiliki ajaran bahwa kaum muslimin yang terlibat dalam perang Jamal, yakni perang antara Aisyah, Thalhah, dan Zubair melawan Ali ibn Abi Thalib dan pelaku arbitrase (termasuk yang menerima dan membenarkannya) dihukumi kafir. Mula-mula dari soal-soal ini, terus meluas dan meluas ke arah ajaran-ajaran lain, cara perbidatan dan lain-lain. Syiah pun demikian. Mula-mula dari doktrin Ahlul Bait, yaitu Ali, Fatimah, Hasan, Husain dan 9 Imam dari keturunan Husain adalah manusia-manusia suci, berkembang menjadi semesta pemikiran dan tindakan beragama yang beragam. Baik Syiah dan Khawarij kemudian terpecah lagi menjadi beberapa aliran kecil.
Muawiyah berhasil menancapkan akar dinastinya dengan sangat kuat dan dalam, meski setiap saat harus mewaspadai gerakan-gerakan perlawanan pengikut Ali (syiah) maupun kelompok-kelompok lainnya. Sekitar 90 tahun dinasti ini berdiri, raja demi raja terus berganti. Kehidupan sosial kurang lebih bisa ditata dengan baik, ekspansi kekuasaan dilakukan secara bertahap dan terukur.
Sejak berdiri hingga perjalannnya yang terbilang pendek, Dinasti Umayyah mengemban misi pencitraan atas sejarah buruk bagaimana dinasti ini dibangun pertama kali. Cara licik Muawiyah menyingkirkan Ali sebagai khalifah ke-4 yang sah harus dikaburkan dalam buku-buku sejarah mendatang. Mungkin pula dengan cara seperti ini, kelompok Syiah dapat “disadarkan” dengan pelan. Dari dinasti inilah muncul pemahaman-pemahaman berbeda tentang peristiwa – peristiwa sebelumnya. Secara umum, keyakinan sejarah yang dikampanyekan saat itu adalah: Ummat Islam telah mendapat finah yang besar.
Pada masa inilah kelompok agama yang menamakan diri mereka ahli Sunnah menyusun bentuknya. Entah karena secara kebetulan mulai hidup dalam masa kemapanan Dinasti Umayyah, ajaran ini dikenal dengan ajaran-ajarannya yang cenderung ditengah-tengah, termasuk dalam penyikapan sejarah sebelumnya. Kasus terbunuhnya Usman Bin Affan, Ali Bin Abi Talib, terjadinya perang jamal dan perang Siffin, diterjemahkan menjadi semacam skenario besar yang dilakukan oleh orang luar yang ingin memecah belah persatuan ummat. Sejarah pertarungan politik kekuasaan sejak setelah wafatnya rasul hingga terjungkalnya Ali disederhanakan dengan menyebutnya fitnah yang ditimbulkan orang-orang luar. Posisi seluruh khalifah dimuliakan, pun dengan Khalifah Ali yang menjadi milik kaum Syiah.
Dalam pandangan saya, kelompok Ahli Sunnah (yang selanjutnya lebih dikenal dengan kelompok Ahlussunnah Wal Jamaah atau Sunni) “sengaja” lahir untuk meredam pandangan-pandangan frontal Syiah maupun khawarij. Sikapnya yang ditengah-tengah dikondisikan negara untuk menghindari ummat dari kegaduhan perang. Sunni lantas disebut sebagai aliran agama yang moderat, baik dari pandangan akidahnya, tata fiqh dan nilai-nilai lain yang diusung.
Sementara itu pada rentang waktu yang bersamaan, api dendam Syiah masih menyala dibalik kemegahan Dinasti Umayah. Perlawanan sudah mulai hidup setelah Muawiyah diganti oleh anaknya, Yazid Bin Muawiyah.
Ketika Yazid bin Muawiyah naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan setia kepadanya, termasuk didalamnya Husain, anaknya Ali Bin Abu Talib. Bersamaan dengan itu, kelompok Syi'ah melakukan konsolidasi (penggabungan) kekuatan untuk melakukan perlawanan. Pada tahun 680 M, Yazid bin Muawiyah mengirim pasukan untuk memaksa Husain bin Ali untuk menyatakan setia, Namun terjadi pertempuran yang tidak seimbang yang kemudian hari dikenal dengan Pertempuran Karbala, Husain bin Ali terbunuh, kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbala sebuah daerah di dekat Kufah.
Kengerian politik yang berujung pada peristiwa perang ini terus berlangsung hingga jatuhnya Dinasti Umayyah dan digantikan oleh Dinasti Abbasiyah (750) yang berpusat di Bagdad-Irak. Posisi berhadap-hadapan Syiah dan penguasa kala itu, baik secara terang-terangan maupun tersembunyi terus terjadi hingga pada akhirnya pasukan Mongolia datang dan mencabik-cabik dinasti itu.
Kini menjadi luculah semuanya, ketika ummat ini saling menghujat atas nama perbedaan cara pandang beragama, yang perbedaan itu semua disandarkan pada ketentuan-ketuan ketat, tokoh-tokoh agama yang katanya ‘alim. Menjadi-jadilah rasa lucu ini ketika mengetahui bahwa akar perbedaan pandangan tersebut adalah sejarah politik. Betapa tidak masuk di akal jika saling serang-menyerang terjadi atas dasar perbedaan candang ber-Islam, teriakan Allahu Akbar menggema baik dari musuh maupun kawan, jika awal dari semua ini adalah perebuatn kekuasaan semata.
Atas masalah ini, tidak masalah jika menteri agama menegaskan bahwa yang terjadi adalah ketegangan berlatar belakang keluarga. Tidak masalah juga jika yang lain mengatakan bahwa kejadian ini berlatar belakang asmara. Tidak masalah dengan sikap menyederhanakan ini, karena memang demikianlah watak semua kita, cenderung menyederhakanan masalah.
Ini adalah tali panjang ketegangan Sunni-Syiah yang membentang kemana-mana, ke daerah-daerah lain, bahkan mungkin ke negara-negara muslim yang tengah menikmati perang. Tali panjang ketegangan yang berlatarbelakang malasnya kita membuka babak sejarah sendiri dan berujung pada kesalahan sikap. Ketegangan terus dilembagakan, ulama-ulamanya membuat fatwa kesesatan antara satu dengan yang lain, di masjid dan majelis taklim riuh dengan soal halal-haram beribadah kelompok lain. Cara yang demikian terus menjalar. Kini bukan lagi antara sunni dan syiah, tapi Sunni dan Ahmadiyah, antara Sunni dan Kristen, Islam dan Budha, antar ummat manusia. Melembagakan perpecahan atas dasar kesalahan membaca sejarah. Sekali lagi negara terlanjur menyederhanakan kegawatan ini.

# Membaca Keinginan Tuhan
Betapa bodohnya kita yang melihat problem intoleransi beragama sebagai tema diskusi kelas dua. Kita terlambat sadar bahwa ambruknya tatanan berbangsa di belahan bumi yang lain justru diakibatkan oleh perdebatan bentuk Tuhan, seberapa kuatpun kecenderungan ekonomi dibaliknya.
Para pendiri bangsa telah menggariskan dengan jelas bahwa resiko menjadi bangsa yang majemuk adalah situasi berhadap-hadapannya antar nilai yang berbeda itu. Problemnya, kita tidak pernah menganggap situasi yang demikian sebagai syarat pengaya nilai. Keragaman sudah terlalu jauh kita artikan sebagai persaingan “menghilangkan yang satu, dan mengangkat yang lain”. Garis bernegara yang sedemikian rupa telah diwariskan para pendahulu seakan sengaja kita kaburkan, tidak peduli mereka yang kita sebut pahlawan itu berasal dari banyak latar belakang.
Kemudian, dipakailah cara pandang yang demikian itu untuk melihat warna-warni keyakinan antar setiap pemeluk agama. Ruh agama paling hakiki berupa kebersamaan telah dibelokkan menjadi ruh kotak-kotak, sekat-sekat. Ruh agama paling tinggi berupa pembumian, disalah artikan menjadi upaya pe-langit-an. Semua terpaku soal teks, semua tidak pernah bicara konteks. Ruh agama paling atas berupa kedamaian, tinggal berupa ajaran-ajaran yang disampaikan di pojok-pojok sosial yang paling sempit. Energi bangsa ini terkuras habis hanya untuk membicarakan bentuk-bentuk yang paling rinci akan Tuhan , tidak sadar bahwa kita telah membicarakan kesia-siaan belaka
Ummat mayoritas harus benar-benar mengerti akan gerak sosiologis sebuah agama yang akan terus berkembang baik dari segi ajaran maupun penganutnya. Para pemeluk keyakinan tidak bisa hilang hak paling asas mereka hanya karena belum genap berjumlah 80 atau 90 orang sebagai syarat berdirinya rumah ibadah, seperti yang terjadi dalam kasus pembangunan sebuah Gereja di Jawa Barat beberapa waktu lalu.

Mayoritas, lewat-lewat sendi-sendi kekuasaan yang mereka miliki harus melakukan langkah-langkah persiapan mengantisipasi perkembangan para pemeluk keyakinan. Pertama, pesan pesan pembauran harus terus dikampanyekan. Indonesia tidak boleh seperti beberapa negara Timur Tengah yang terkoyak akibat adanya zonasi daerah berdasarkan agama, di zona ini beragama Islam, di zona itu beragama Kristen, dan lain-lain yang dapat melahirkan gesekan tajam. Ciri kampung dan kota di Indonesia haruslah multi warna yang memungkinkan mereka saling mengenal satu sama lain.