Jumat, 27 Januari 2017

Kebhinekaan yang Tersesak

Cina, Arab,PKI, dan Islam
Opini Publik yang di hembuskan Media-Media nasional dan media-media jejaring social seperti jatuhnya hujan dari langit begitu banyak dan intens hampir tak ada celah kosong untuk bisa berteduh dalam suasana yang sangat gaduh, dimulai dari soal-soal agama yang dinistakan.tumbuh seperti bijian yang tersiram hujan semalaman, tumbuh liar menjalar dan melilit seluruh lini sosio cultural masyarakat, perebutan kursi social kekuasaan yang menjadi incaran seperti sepotong pohon kering yang meranggas di terpa terik panas kemudian terseduh oleh sentuhan kepentingan mobilisasi, mengakibatkan seluruh eksistensinya melapuk, disisi yang lain kacang yang tumbuh dari bebijian mencari sandaran untuk bisa menuju sinar matahari yang cukup atau setidaknya memilih massif dengan menjelajah seluruh permukaan dengan saling melemahkan satu dengan yang lainnya.
Perseteruan antara suku-suku bangsa yang sejatinya adalah pelegalan legalitas dagang antara pendatang cina dan arab ditanah air telah berkamuflase membentuk sebuah Koloni yang saling mendominasi membentuk inperium-imperium kecil yang bernama berhala pembenaran hak untuk berkembang dibawah payung HAM dan siraman Air suci kemanusiaan bertunasan seumpama cendawan yang tumbuh dalam badai yang ribut,gelap,kelam dan kacau, belum setengah abad yang lalu badai yang sama terjadi sehingga muncullah sebuah cahaya bernama kesaktian pancasila yang menerangi bangsa Indonesia dengan ayat-ayat kebhinekaan, kenyataannya tidak bisa bertahan lebih lama sebab datangnya bukan dari sebuah kitab suci melainkan dari sebuah kudeta politik yang dipagari oleh bayang-bayang kediktatoran penyelewengan kekuasaan.
Tumbangnya pohon besar setelah tiupan angin reformasi juga tak kunjung mampu memberikan udara segar bagi demokrasi bangsa yang katanya seperti surga ini, lantas para prajurit dan punggawa kerajaan yang berlindung dalam dinding tebal dan kokoh bernama Budaya ketimuran pun tak mampu menolak dentuman peluru yang ditembakkan oleh pasukan rela mati yang bernama modernisasi dan persaingan pasar bebas yang berketerusan membombardir pertahanannya. hingga pagar betis harus pula di korbankan seperti pri bumi dan penduduk miskin kota, harus rela memilih menjadi buruh palu arit atau harus menjadi priyai dalam selubung Sufisme seperti agama bumi.
Sejarah pasti berulang dan korban harus bertumbangan, di Lombok terkenal dengan Istilah ganyangan, dan pembakaran atau kaum Minoritas selamanya bertahan hidup dengan dalil pariwisata dan pelestarian lingkungan, atau sekali saja kita harus menekan keras dan membentuknya menjadi sesuatu yang berbeda dalam proses panjang demokrasi dengan membenturkan diri dengan supranaturalisme prinbon-primbon dari negeri Sriwijaya.

Kehadiran Fajar demokrasi seperti yang di katakan soerjono dalam bukunya Fajar Kebangkitan dilombok  dan Politik tuan guru Bajang begitu lekat dan kuat seumpama magnet yang menarik partikel-partikel disekelilingnya untuk bersatupadu mengubah janji-janji menjadi harapan dan lompatan-lompatan seperti yang dikatakan dalam Dua tahun TGB-Amin adalah barometer yang mesti dan nyata dalam wujud materi semoga Lombok Sumbawa, NTB umumnya tetap dalam kebhinekaan di tangan yang maha kuasa.