Opini Publik yang di hembuskan
Media-Media nasional dan media-media jejaring social seperti jatuhnya hujan
dari langit begitu banyak dan intens hampir tak ada celah kosong untuk bisa
berteduh dalam suasana yang sangat gaduh, dimulai dari soal-soal agama yang
dinistakan.tumbuh seperti bijian yang tersiram hujan semalaman, tumbuh liar
menjalar dan melilit seluruh lini sosio cultural masyarakat, perebutan kursi
social kekuasaan yang menjadi incaran seperti sepotong pohon kering yang meranggas
di terpa terik panas kemudian terseduh oleh sentuhan kepentingan mobilisasi,
mengakibatkan seluruh eksistensinya melapuk, disisi yang lain kacang yang
tumbuh dari bebijian mencari sandaran untuk bisa menuju sinar matahari yang
cukup atau setidaknya memilih massif dengan menjelajah seluruh permukaan dengan
saling melemahkan satu dengan yang lainnya.
Perseteruan antara suku-suku
bangsa yang sejatinya adalah pelegalan legalitas dagang antara pendatang cina
dan arab ditanah air telah berkamuflase membentuk sebuah Koloni yang saling
mendominasi membentuk inperium-imperium kecil yang bernama berhala pembenaran hak
untuk berkembang dibawah payung HAM dan siraman Air suci kemanusiaan bertunasan
seumpama cendawan yang tumbuh dalam badai yang ribut,gelap,kelam dan kacau,
belum setengah abad yang lalu badai yang sama terjadi sehingga muncullah sebuah
cahaya bernama kesaktian pancasila yang menerangi bangsa Indonesia dengan
ayat-ayat kebhinekaan, kenyataannya tidak bisa bertahan lebih lama sebab
datangnya bukan dari sebuah kitab suci melainkan dari sebuah kudeta politik
yang dipagari oleh bayang-bayang kediktatoran penyelewengan kekuasaan.
Tumbangnya pohon besar setelah
tiupan angin reformasi juga tak kunjung mampu memberikan udara segar bagi
demokrasi bangsa yang katanya seperti surga ini, lantas para prajurit dan
punggawa kerajaan yang berlindung dalam dinding tebal dan kokoh bernama Budaya
ketimuran pun tak mampu menolak dentuman peluru yang ditembakkan oleh pasukan
rela mati yang bernama modernisasi dan persaingan pasar bebas yang berketerusan
membombardir pertahanannya. hingga pagar betis harus pula di korbankan seperti
pri bumi dan penduduk miskin kota, harus rela memilih menjadi buruh palu arit
atau harus menjadi priyai dalam selubung Sufisme seperti agama bumi.
Sejarah pasti berulang dan korban
harus bertumbangan, di Lombok terkenal dengan Istilah ganyangan, dan pembakaran
atau kaum Minoritas selamanya bertahan hidup dengan dalil pariwisata dan
pelestarian lingkungan, atau sekali saja kita harus menekan keras dan
membentuknya menjadi sesuatu yang berbeda dalam proses panjang demokrasi dengan
membenturkan diri dengan supranaturalisme prinbon-primbon dari negeri
Sriwijaya.
Kehadiran Fajar demokrasi seperti
yang di katakan soerjono dalam bukunya Fajar Kebangkitan dilombok dan Politik tuan guru Bajang begitu lekat dan kuat
seumpama magnet yang menarik partikel-partikel disekelilingnya untuk bersatupadu
mengubah janji-janji menjadi harapan dan lompatan-lompatan seperti yang
dikatakan dalam Dua tahun TGB-Amin adalah barometer yang mesti dan nyata dalam
wujud materi semoga Lombok Sumbawa, NTB umumnya tetap dalam kebhinekaan di
tangan yang maha kuasa.