Sabtu, 11 April 2015

Al Hijr, Zaman Batu dan Prasejarah. (Sebuah Inagurasi Sintaksis)

Sudah hampir 200 hari meninggalkan NTB, negeri yang telah membangun jiwa ragaku, yang sekarang melek dengan pesona wisata seperti negeri sebelah baratnya, meski dengan groun basic yang berbeda namun pesona wisata merupakan alat pital untuk menggapai maslahat kaum religius dalam slogan wisata religi.
Beberapa hari terakhir ini saya ikuti beberapa tautan yang menjelaskan bahwa di NTB sedang ngetrennya Tukang Gosok Batu, entah sebagai cindramata atau sekedar sebuah pajangan.
Ditengah-tengah carut marutnya politik, memanasnya termodinamika kaum politisi,dan disaat down up nya kurs rupiah, NTB malah makin mempercantik diri dengan pesona-lithik.
Istilah lithikum menjadi bagian tersendiri dalam lembar sejarah peradaban, seperti, mesolithikum,neolithikum dan antah berantah lainnya..
Kehadiran batu dalam peradaban manusia secara alami merupakan kebutuhan religi sebagaimana kondisi hajar aswad yang di kritisi umar Ra. Namun itu adalah peninggalan bersejaran sebagaimana ka'bah adalah susunan batu-batu, yang menarik dari tarik ulur benang merah ini adalah integritas kaum intlektual sebagaimana yang dijabarkan bahwa mereka adalah agen of change, ternyata tak berdengung lagi bagaikan hujan menyiram lebah sepi,hampa,dan tampa gerakan, cendrung statis dan mati kutu,padahal disisi lain mereka adalah mass giant (raksasa massa) untuk membebaskan belenggu2 hirarkis antara penguasa dan jelata. 
Tak pernah ada demo, tak pernah ada aksi penolakan,dan tak pernah ada diskusi, mereka bungkam bagaikan mesiu yang dijadikan pajangan didepan museum, mungkin saja kondisi ini adalah langkah awal NTB dan Lombok khususnya untuk berfikir ulang setidaknya berbuat untuk masyarakat....

Al Kautsar,

Membolak balik lembaran dan mengutak atik halaman yang berisikan corat coret aktifitas rasa, menemukan beberapa kata yang belum memiliki makna sempurna, mengurung diri dalam kamar, sebagai sebuah pilihan, matahari dan bulan silih berganti,hujan dan terik saling mendahului seakan ingin membuktikan kepada manusia tentang keperkasaan mereka, tatkala kerasnya kehidupan mulai menyedot energi humanitas.
Di langit sebentar lagi matahari yang jengkel semenjak pagi tadi terhalang awal akan berpaling,digantikan cantiknya piurnama bulan malam berbintang, sembari mengeja abjad abjad dalam keyboard handphone mengaji kembali kitab masalalu yang hampir mengurai ditelan waktu.
Teman dan sahabat silih berganti mngantri kepentingan dan watak namun tak dapat disembunyikan dari mereka raut kekurangan kekurangan atas hasil yang dikumpulkan melalui kerja keras, melawan sistem kapitalistik perusahaan,
Aku yang rindu kepada anak dan istriku di kampung halaman menghitung hari2 dalam sejuta rasa,mengalkulasi kebahagiiaan yang mungkin terjelma dari pertemuan, namun pada hakikatnya tak mengurangi beban dan tanggung jawab atas rumah tangga diatas pondasi keserba terbatasan.
Mendekati hari yang ke 200 setelah tak melihat mereka terlelap disamping tempat tidurku membuat air mata seakan ingin menetes laksana tubuh terpanggang matahari dan keringat muncrat dari pori pori. Senyum dan ketduhan wajah tulus takberdosa dengan hari hari kanak-kanak yang ceria hampir meransang diriku untuk melopat menceburkan diri melintasi lautan indonesia hingga tembus ditanah dwipa pulau sejjuta cerita tanah jawa, melampaui semua penduduknya dan berjumpa dengan keriduan mereka.