Problem hidup keagamaan di Indonesia mengalami proses pencarian kedewasaan. Untuk menuju kedewasaan
beragama itu tentunya harus melewati masa kekanak-kanakan dan keremajaan. Islam di Indonesia juga mengalami hal yang sama. Apalagi jika muncul istilah agama
garis lurus yang sangat mengesankan adanya agama garis melengkung. Inilah yang
patut untuk dibahas agar wacana keagamaan tidak menjadi bias.
Agama pada hakikatnya menjadi landasan hidup yang bersifat spiritual dan sosial. Ada keyakinan yang ditanamkan oleh agama agar manusia itu tidak asal dalam berfikir dan bertindak. Misalnya berfikir bahwa ia bisa hidup sendiri tanpa ada yang membuat hidup. Dan manusia mampu berbuat sendiri tanpa campur tangan yang lain. Agama hadir sebagai penguat bahwa manusia hanyalah “ciptaan” dan didorong untuk “berusaha”. Dzat yang menciptakan itulah disebut Tuhan.
Tuhan dan manusia dipertemukan dalam sebuah institusi yang bernama agama. Dengan kata lain, agama menjadi tempat bersandar agar manusia sadar adanya Tuhan yang harus diyakini menciptakan, mengatur dan menentukan nasib manusia. Dalam usaha mendekat pada Tuhannya inilah, manusia akan terukur ketaatan beragama. Sehingga posisi agama terkadang memang berbeda di hadapan manusia.
Agama pada hakikatnya menjadi landasan hidup yang bersifat spiritual dan sosial. Ada keyakinan yang ditanamkan oleh agama agar manusia itu tidak asal dalam berfikir dan bertindak. Misalnya berfikir bahwa ia bisa hidup sendiri tanpa ada yang membuat hidup. Dan manusia mampu berbuat sendiri tanpa campur tangan yang lain. Agama hadir sebagai penguat bahwa manusia hanyalah “ciptaan” dan didorong untuk “berusaha”. Dzat yang menciptakan itulah disebut Tuhan.
Tuhan dan manusia dipertemukan dalam sebuah institusi yang bernama agama. Dengan kata lain, agama menjadi tempat bersandar agar manusia sadar adanya Tuhan yang harus diyakini menciptakan, mengatur dan menentukan nasib manusia. Dalam usaha mendekat pada Tuhannya inilah, manusia akan terukur ketaatan beragama. Sehingga posisi agama terkadang memang berbeda di hadapan manusia.
Ideologi Lurus
Hadirnya agama garis lurus ini menjadi bagian dari komitmen manusia untuk menyebut agama sebagai ideologi yang tidak boleh dibelokkan. Bahwa agama yang ada itu harus di bawah komando Tuhannya. Itu yang tepat dalam dimensi agama secara teologis. Namun ada yang membuat tidak nyaman, dimana agama garis lurus ini sangat gampang menyebut kelompok yang berbeda menjadi “kafir” dan “sesat”.
Model agama garis lurus inilah yang kemudian perlu dikritisi sebagai model agama yang sukses secara teologis dan gagal dalam konteks sosiologis. Lebih tepat bahwa agama garis lurus ini menjadi agama mainstrem yang berkiblat pada fanatisme dan cenderung doktriner. Apalagi dalam proses memaknai kebenaran terkadang tidak mampu dioperasionalkan.
Kelurusan agama yang dikampanyekan justru membuat orang lain gelisah, sehingga merasakan bingung untuk menentukan basis berideologi. Dalam agama Islam misalnya tegas disebutkan oleh Nabi bahwa agama itu mudah dan tidak perlu dipersulit, tetapi jangan sampai mempermudah agama. Artinya bahwa visi Islam yang dibawa oleh Rasulullah itu sangat simpel: beragama dengan mudah dan tidak menyulitkan orang.
Wajah agama garis lurus ini akan menjadikan orang benar-benar mampu memurnikan ajaran Tuhannya. Sehingga perlu sekali untuk meluruskan kembali hakikat beragama secara sosial. Akan lebih lurus lagi jika kekuatan doktrinasi agamanya itu diimbangi dengan kelurusan terhadap lingkungan sekitar. Sehingga cara beragama itu menjadi lebih sempurna hablun minallah (hubungan dengan Tuhan) dan hablun minannas (hubungan dengan manusia). Jadi untuk menjadikan agama garis lurus itu sebaiknya berdasarkan dua hal tersebut.
Hadirnya agama garis lurus ini menjadi bagian dari komitmen manusia untuk menyebut agama sebagai ideologi yang tidak boleh dibelokkan. Bahwa agama yang ada itu harus di bawah komando Tuhannya. Itu yang tepat dalam dimensi agama secara teologis. Namun ada yang membuat tidak nyaman, dimana agama garis lurus ini sangat gampang menyebut kelompok yang berbeda menjadi “kafir” dan “sesat”.
Model agama garis lurus inilah yang kemudian perlu dikritisi sebagai model agama yang sukses secara teologis dan gagal dalam konteks sosiologis. Lebih tepat bahwa agama garis lurus ini menjadi agama mainstrem yang berkiblat pada fanatisme dan cenderung doktriner. Apalagi dalam proses memaknai kebenaran terkadang tidak mampu dioperasionalkan.
Kelurusan agama yang dikampanyekan justru membuat orang lain gelisah, sehingga merasakan bingung untuk menentukan basis berideologi. Dalam agama Islam misalnya tegas disebutkan oleh Nabi bahwa agama itu mudah dan tidak perlu dipersulit, tetapi jangan sampai mempermudah agama. Artinya bahwa visi Islam yang dibawa oleh Rasulullah itu sangat simpel: beragama dengan mudah dan tidak menyulitkan orang.
Wajah agama garis lurus ini akan menjadikan orang benar-benar mampu memurnikan ajaran Tuhannya. Sehingga perlu sekali untuk meluruskan kembali hakikat beragama secara sosial. Akan lebih lurus lagi jika kekuatan doktrinasi agamanya itu diimbangi dengan kelurusan terhadap lingkungan sekitar. Sehingga cara beragama itu menjadi lebih sempurna hablun minallah (hubungan dengan Tuhan) dan hablun minannas (hubungan dengan manusia). Jadi untuk menjadikan agama garis lurus itu sebaiknya berdasarkan dua hal tersebut.
Islam Moderat
Salah satu usaha untuk mewujudkan agama garis lurus dengan paradigma teologi-sosial, maka perlu ditekankan pola Islam moderat. Yang dimaksudkan adalah Islam yang mampu berdialektika dengan lingkungan dan teguh dalam berteologi. Dan ini memang tidak mudah. Butuh banyak perangkat untuk menjadikan hidup beragama secara moderat.
Beragama secara moderat tidak kemudian membuat orang tidak konsisten. Di satu sisi memegang teguh dasar teologi, tapi di sisi lain harus menyesuaikan dengan kondisi lingkungan. Padahal seringkali lingkungan itu bertolak belakang dengan teologi-normatif. Maka disitulah indahnya orang beragama yang harus dimaknai secara luas. Kalau tidak dipahami secara luas, maka agama akan bergeser menjadi alat untuk menjustifikasi kesalahan-kesalahan orang lain.
Ketika agama berhenti pada penyalahan orang lain, seharusnya ada dorongan untuk mengingatkan dan meluruskannya. Akan tetapi yang terjadi tidak demikian. Ketika menyebut orang lain salah—tidak diingatkan untuk menjadi benar—tetapi bicara kesana kemari kalau dirinya paling benar. Pada titik inilah terjadi konflik agama terselubung. Dan membuat agama yang disebut lurus itu menjadi melengkung.
Oleh sebab itu, ada empat hal pokok yang perlu ditata kembali mengenai pola hidup beragama di Indonesia ini.
Salah satu usaha untuk mewujudkan agama garis lurus dengan paradigma teologi-sosial, maka perlu ditekankan pola Islam moderat. Yang dimaksudkan adalah Islam yang mampu berdialektika dengan lingkungan dan teguh dalam berteologi. Dan ini memang tidak mudah. Butuh banyak perangkat untuk menjadikan hidup beragama secara moderat.
Beragama secara moderat tidak kemudian membuat orang tidak konsisten. Di satu sisi memegang teguh dasar teologi, tapi di sisi lain harus menyesuaikan dengan kondisi lingkungan. Padahal seringkali lingkungan itu bertolak belakang dengan teologi-normatif. Maka disitulah indahnya orang beragama yang harus dimaknai secara luas. Kalau tidak dipahami secara luas, maka agama akan bergeser menjadi alat untuk menjustifikasi kesalahan-kesalahan orang lain.
Ketika agama berhenti pada penyalahan orang lain, seharusnya ada dorongan untuk mengingatkan dan meluruskannya. Akan tetapi yang terjadi tidak demikian. Ketika menyebut orang lain salah—tidak diingatkan untuk menjadi benar—tetapi bicara kesana kemari kalau dirinya paling benar. Pada titik inilah terjadi konflik agama terselubung. Dan membuat agama yang disebut lurus itu menjadi melengkung.
Oleh sebab itu, ada empat hal pokok yang perlu ditata kembali mengenai pola hidup beragama di Indonesia ini.
Pertama, agama menjadi panduan
hidup berketuhanan. Agama harus dimaknai sebagai doktrin Tuhan yang menguatkan
kita sebagai insan yang beragama. Ketika sudah menyebut beragama, maka sikap
hidup akan berbeda dengan orang yang tidak beragama (tidak bertuhan). Orang
yang beragama akan lebih dewasa dan nyaman dalam hidup.
Kedua, agama menjadi nasehat
hidup untuk berdampingan. Tidak ada dalih yang membuat orang beragama itu
selalu ingin bermusuhan dengan agama lain—jika agama dijadikan nasehat hidup.
Sebab agama itu tidak hanya menghadirkan cara berfikir akhirat saja. Tetapi
agama juga mendorong cara berfikir rasional untuk kepentingan dunia (hidup).
Oleh sebab itu, agama perlu dijadikan pemersatu, bukan sebagai alat konflik.
Ketiga, agama menjadi
penyelesai masalah. Jika ada masalah yang terjadi dalam bidang agama, maka
tokoh-tokoh agama perlu hadir menyelesaikan dengan argumentasi agamanya. Dan
banyak tokoh-tokoh agama Indonesia yang memiliki kekuatan bersifat moderat yang menjadi negerinya
damai dan tentram. Apalagi dengan bukti kemerdekaan yang sudah berusia 70
tahun, menunjukkan agama Indonesia sebagai agama yang sangat toleran.
Dan keempat, agama menjadi mitra dalam segala usaha duniawi-ukhrawi. Cara hidup moderat dalam agama adalah solusi nyata. Dimana orang akan lurus dalam beragama dengan pola hidup beribadah dan bersosial. Agama dengan basis spiritual-sosial ini yang akan menjadikan lurusnya agama sebagai ibadah terhadap Tuhannya dan bakti pada masyarakatnya.
Dan keempat, agama menjadi mitra dalam segala usaha duniawi-ukhrawi. Cara hidup moderat dalam agama adalah solusi nyata. Dimana orang akan lurus dalam beragama dengan pola hidup beribadah dan bersosial. Agama dengan basis spiritual-sosial ini yang akan menjadikan lurusnya agama sebagai ibadah terhadap Tuhannya dan bakti pada masyarakatnya.
Dengan demikian, agama garis
lurus bukan sekedar lurus pada Tuhannya tetapi melenceng terhadap sosial. Garis
lurus agama harus seimbang keduanya, lurus Tuhan dengan teologi-moderat dan
lurus pada masyarakat dengan hidup secara toleran. Jika itu dilakukan, maka
suasana hidup beragama di Indonesia kelak menjadi semakin dewasa.*)