Saya
mengalami semacam syndrome Dilan saat seorang teman meng-update status tentang
PKS yang mengambil Dilan sebagai Ikon Kampanye, atau Saat pendukung Zulrahmi
banyak menggunakan gaya komunikasi Dilan saat menyampaikan ajakan memberi dukungan
kepada cagub dan cawagub dari Demokrat dan PKS ini, hadirnya tulisan berikut
tidak semuanya adalah hasil fikiran saya namun merupakan buah fikiran sahabat
saya di Kompasiana.com bernama Bambang Trim,
Beberapa hari ke belakang begitu berkecamuk di benak saya tentang anak muda Indonesia. Pertama, tentang tokoh fiktif rekaan Pidi Baiq bernama Dilan yang segera menjadi magnet sebangsa dan setanah air. Kedua, tentang merasa gagahnya seorang mahasiswa mengacungkan "kartu kuning" kepada Presiden Jokowi sebagai bentuk peringatan dan protes terhadap beberapa permasalahan bangsa yang menurutnya belum tuntas. Ketiga, tentu saja kabar menyesakkan dada tentang seorang guru SMA muda yang dipanggil Pak Budi harus tewas di tangan muridnya saat proses belajar mengajar.
Beberapa hari ke belakang begitu berkecamuk di benak saya tentang anak muda Indonesia. Pertama, tentang tokoh fiktif rekaan Pidi Baiq bernama Dilan yang segera menjadi magnet sebangsa dan setanah air. Kedua, tentang merasa gagahnya seorang mahasiswa mengacungkan "kartu kuning" kepada Presiden Jokowi sebagai bentuk peringatan dan protes terhadap beberapa permasalahan bangsa yang menurutnya belum tuntas. Ketiga, tentu saja kabar menyesakkan dada tentang seorang guru SMA muda yang dipanggil Pak Budi harus tewas di tangan muridnya saat proses belajar mengajar.
sampai
dengan paragraph ini banyak factor yang menjadi perhatian bagi saya yang secara
pribadi, jujur saya tak pernah mampu atau punya kuasa untuk menentukan suratan
takdir sendiri, sebagai guru honor saya kadang risih dan miris mendengar dan
menyaksikan pemberitaan di media massa atau elektronik yang memuat kisah guru
budi cahyono yang meninggal akibat dianiaya siswanya.
dalam
kesempatan yang sama juga beberapa statemen banyak disinggung Bambang sebagai
upaya koreksi kepada generasi jaman Now atau meminjam istilah Dilanis bagi
penggemarnya karena bagaimanapun juga kehadiran dilan dalam novel adalah
sesuatu yang tak bisa dihapus sebagaisebuah literature walaupun sifatnya fiktif
rekaan namun esensinya tetap saja terasa, kata bambang begini,
Kisah Dilan,
mahasiswa bernama Zaadit, dan Pak Budi seperti menyambungkan sehelai benang
merah dari sehelai kain hasil tenun kebangsaan. Romantis, heroik, sekaligus
miris yang membuat benang merah itu mengandung warna delima dan darah. Warna
itu dipercayai beberapanya terbentuk dari literasi.
Menulis
(tentang ini) itu berat. Kamu nggak kan kuat. Biar aku saja.
Namun, saya
paksakan tetap menulis keesokan harinya .... begitu tutur Bambang.
Sikap,
sosok, dan tutur Dilan memang terbilang istimewa---unik sekaligus nyeleneh.
Kalimat-kalimat yang diutarakannya kepada Milea adalah rayuan-rayuan gombal
versi ori, bukan KW. Saya kira pastilah para gadis yang menonton ini ataupun
mantan gadis era 1990-an dibuat bapertingkat nasional.
Rindu itu
berat .... Kamu nggak kan kuat. Biar aku saja!
Ungkapan ini
mendadak viral di media sosial, lalu dimodifikasi secara berjemaah.
Begitu pula ungkapan berikut ini yang melambungkan hati seorang gadis bernama
Milea.
Cemburu itu
hanya untuk orang-orang yang tidak percaya diri. Dan sekarang aku lagi tidak
percaya diri ....
sangat baik
dan mulia andaikan banyak diantara anak murid dan generasi saya yang
terhipnotis oleh tokoh dilan menelisisk ulang muatan yang terkandung dalam
tokoh fiktif mereka, seperti yang di tuturkan Bambang berikut ini saat
membandingkan dilan dengan tokoh yang seusianya Lupus,
Berbeda
dengan tokoh Dilan yang super-romantis, tokoh Lupus tidak demikian. Lupus lebih
populer dengan kekocakan dan kedegilannya. Lupus didesain sebagai
cerita komedi remaja dengan aneka peristiwa. Namun, kisah percintaan selalu ada
sebagai bumbu yang menarik sepanjang masa.
Dilan tentu
tampak lebih perkasa dari Lupus. Ia adalah panglima perang dari geng motor
serta digambarkan jagoan dengan jaket blue jeansbelel dan tunggangan
motor Honda CB 100.
pada bagian
ini yang paling saya harapkan untuk generasi dan Dilanis Indonesia era Mileneal
atau Jaman NOW, mereka harus berani dan tegas dalam memfilter segala bentuk
literasi yang mungkin saja keliru dan kurang pas dijadikan standar dan acuan
dalam mengidolakan siapa saja karena itu adalah privatisasi dan hak
masing-masing namun tak ada salahnya bambang menjelaskan begini,
Kejagoan
Dilan salah satunya terlihat pada adegan ia melawan Pak Suripto yang menarik
kerah bajunya, lalu menampar wajahnya. Tiba-tiba adegan ini mengingatkan saya
suatu hari di kelas 3 Fisika 3 (SMAN 5 Medan). Tiba-tiba wali kelas saya menghardik
seorang siswa yang ribut di kelas. Namun, entah mengapa teman saya yang lain
berdiri dan menantang si wali kelas dengan suara tinggi. Itu peristiwa langka,
seorang murid berani menantang gurunya. Namun, itu adalah fakta.
Jadi, kasus
Dilan itu terjadi akibat ketegangan bertensi tinggi antara guru dan murid.
Adalah hal biasa pada 1980-an dan 1990-an seorang guru menampar, menjambak,
menendang, atau menempeleng muridnya--tak memandang guru lelaki atau guru
perempuan. Ada yang diam tak berkutik dan ada pula yang akhirnya melawan
seperti Dilan.
Dilan
berkilah, "Saya tidak melawan guru. Saya melawan Suripto ...." (tanpa
lagi ada kata "pak" untuk menunjukkan ketidakhormatannya).
Dalam kisah
Lupus tidak ada kekerasan faktual semacam itu yang terjadi pada era 1980-an dan
1990-an. Lupus adalah karya literasi yang manis dan lucu, sedangkan Dilan adalah
karya literasi manis dan gagah.
Efek Dilan
memberi banyak pelajaran, terutama untuk mendorong mengenal penulisnya, Pidi
Baiq. Beliau yang kerap dipanggil Surayah atau Ayah oleh para
"pengikutnya" dapat menjadi duta literasi ke SMA-SMA agar menihilkan
kasus yang terjadi pada Pak Guru Budi atau membahas kasus "kartu
kuning" secara ringan dan lucu. Daya literasi itu saya percayai dapat
didesain pada suatu bangsa, apalagi dengan memanfaatkan pengaruh dari
karya-karya yang meledak dan mengalihkan perhatian generasi milenial pada
buku.[]