Minggu, 14 Februari 2016

Kekuatan Jiwa Manusia

Seorang  penyair berkata, “Sesungguhnya mereka yang darahnya mengalir dan menjadi nanah, Adalah benar-benar kaum yang sejati, wahai Ummu Khalid.”
Allah berfirman, “Dan orang-orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan mem-benarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa,” (QS az-Zumar: 33)
Padanan ayat ini adalah ayat yang sedang kita bahas, yaitu, “Kamu mempercakapkan hal yang batil sebagaimana mereka  mempercakapkannya,” (QS at-Taubah: 69)
Namun, bisa juga makna yang dimaksud ayat ini adalah “dan kalian memper-bincangkannya seperti perbincangan mereka”. Dalam arti yang terakhir ini, maka al-ladzi menjadi sifat bagi suatu kata benda yang tidak disebutkan(mahdzuuf).
Ini seperti perkataan Anda, ‘Idhrib kal-ladzii dharab” (Pukullah dia seperti pukulannya terhadapmu), dan ‘Ahsin kal-ladzi a’hsana’ (Berbuat baiklah kepadanya seperti kebaikannya kepadamu) dan semacamnya.
Berdasarkan penjelasan terakhir ini, maka posisi kata ganti yang merujuk ke subjek adalah manshub dan tidak disebutkan (mahdzuuf). Tidak disebutkannya kata ganti tersebut sama-sama terjadi dalam dua makna di atas.

Maka, Allah SWT mencela mereka karena memperbincangkan hal-hal yang batil dan mengikuti hawa nafsu. Allah SWT juga memberitahukan bahwa orang yang demikian keadaannya, maka ia akan kehilangan amal perbuatannya di dunia dan di akhirat, dan dia termasuk orang-orang yang merugi.
DI antara kesempurnaan hikmah Allah SWT, Dia menguji jiwa manusia dengan penderitaan dan kesusahan untuk mencapai keinginan dan hawa nafsunya.
Sebab itulah, hanya sedikit jiwa yang tidak terjerumus ke dalam kebatilan. Seandainya jiwa-jiwa itu hanya mengejar hal-hal yang batil, maka mereka akan menjadi para penyeru ke neraka. Inilah perihal mereka yang hanya berkonsentrasi pada kebatilan, sebagaimana tampak dalam realita.
Dan makna ‘kalian memperbincangkan’ dalam ayat di atas adalah ‘seperti kelompok yang memperbincangkan’, atau ‘bagaikan dua kelompok yang telah memperbincangkan’, jadi kata al-ladzi di sini adalah untuk tunggal atau plural.
Allah berfirman, “Dan orang-orang yang (al-ladzi) membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa. Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki pada sisi Tuhan mereka. Mereka itulah orang-orang yang bertakwa,” (QS az-Zumar: 33-34)

Dua Kekuatan Manusia

Seorang hamba memiliki dua kekuatan.  Pertama. Kekuatan mengetahui dan menganalisa, serta segala sesuatu yang menjadi konsekuensi dari keduanya, berupa ilmu, pengetahuan dan kemampuan berbicara.  Kedua.Kekuatan kehendak dan cinta, serta segala hal yang mengikutinya, berupa niat, tekad, dan perbuatan.
Syahwat membuat kekuatan kehendak untuk menunaikan perintah menjadi lemah selama tidak dibersihkan dan dihilangkan.
Allah SWT berfirman, “Demi bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru, “(QS al-Najm: 1-2)
Tidak tersesatnya Nabi Muhammad SAW ini menunjukkan kesempurnaan ilmu dan pengetahuan beliau. Hal ini juga menunjukkan bahwa segala berita yang beliau bawa adalah benar adanya.
Ketidak keliruan beliau menunjukkan sempurnanya kebenaran yang beliau bawa, dan menunjukkan bahwa beliau adalah manusia pilihan di dunia ini.
Dengan demikian, beliau adalah seorang hamba yang sempurna ilmu dan amalnya. Beliau juga menyebut bahwa para Khulafa’urrasyidin mempunyai sifat-sifat yang layak menjadi panutan, sehingga beliau memerintahkan umatnya untuk mengikuti mereka.

Rasulullah SAW bersabda, “Ikutilah sunnahku dan sunnah para Khulafa’ur-raasyidun, yang mendapatkan petunjuk sesudahku,” (HR Tirmidzi)
Mengikuti petunjuk Allah SWT adalah membenarkan pemberitahuan-Nya tanpa menampakkan keraguan yang merusak pembenaran itu, serta melaksanakan perintah-Nya tanpa adanya hawa nafsu yang menjadi penghalang.
Kedua hal ini merupakan inti keimanan, yaitu pembenaran berita dan ketaatan terhadap perintah. Kemudian kedua hal tersebut diikuti dua perkara.
Yaitu meniadakan keraguan yang menghalangi dan mengotori kesempurnaan pembenaran itu, serta menolak hawa nafsu yang menyesatkan dan menggoda yang menghalangi kesempurnaan pelaksanaan perintah-Nya.
Jadi mengikuti petunjuk Allah SWT terdapat, membenarkan pemberitahuan-Nya, berusaha sekuat tenaga untuk menolak dan melawan segala keraguan yang dibisikkan setan-setan dari jenis jin dan manusia. menaati perintah-Nya, dan melawan hawa nafsu yang menghalangi seorang hamba dalam menyempurnakan ketaatan.
Keraguan dan hawa nafsu merupakan pangkal kesengsaraan hamba dan penyebab penderitaan dalam kehidupan dunia dan akhirat. Sebaliknya, pembenaran terhadap wahyu dan ketaatan terhadap perintah-Nya merupakan pangkal kebahagiaan dan keberuntungan di dunia dan akhirat.

Konsultasi Agama (Hukum Melakukan INZAL)

Keluarga Berencana (KB) dengan dua anak cukup bisa dilakukan dengan berbagai cara. Satu diantara menggunakan berbagai alat kontrasepsi yang dianjurkan pemerintah.
Untuk suami bisa dilakukan dengan KB pria atau vasektomi, sedangkan istri pasang alat KB yang disesuai dengan dirinya.
Timbul pertanyaan bagaimana jika menggunakan cara alami mencabut penis jelang ejakulasi? apakah diperbolehkan membuang benih sperma di luar farji (alat kelamin perempuan)
Secara medis tentu tak ada masalah bagi pasutri menggunakan trik itu, bagaimana padangan hukum agama pasutri memprogram kehamilan atau mencegah kehamilan dengan cara itu?
Dikutip dari Pustaka Ilmu Sunni-Salafiyah berdasarkan hukum figh yang membahas soal ‘Azl atau Senggama Terputus (Coitus Interuptus) tindakan ada beberapa hukum yang perlu difahami.
Dibahas dalam Figh, istilah ‘Azl dimaknai sebagai langkah suami mencabut alat kelamin sebelum ejakulasi sekaligus mengeluarkan sperma di luar rahim.
Cara itu digunakan agar tak terjadi pembuahan karena alasan-alasan tertentu seperti program kehamilan keluarga sehat sejahtera atau alasan kesehatan dan lain-lain.
Setidaknya ada empat pandangan yang menyikapi persoalan coitus interuptus pasangan suami istri:
Pertama, boleh dilakukan berdasarkan pendapat Syafi’iyyah dengan berdasarkan hadits Shahih yang diriwayatkan dari Jabir Ra
Hadits riwayat Jabir Radhiyallahu’anhu, ia berkata:
“Kami tetap melakukan ‘azal di saat Alquran masih turun. Ishaq menambahkan: Sufyan berkata: Kalau ada sesuatu yang terlarang pasti Alquran telah melarang hal tersebut. (Shahih Muslim No.1440-136)
“Kami melakukan ‘azl pada masa Nabi SAW. Kabar tersebut sampai kepada beliau, tetapi beliau tidak melarangnya”. (HR Muslim)
Disisi lain, menurut An-Nawawy (Ulama’ Syafiiyyah) dalam Syarh Muslim disebutkan coitus interuptus demi menghindari kehamilan hukumnya makruh.
Tetapi langkah itu baik dilakukan dan boleh jika ada kerelaan pihak istri atau asal cara itu dilakukan tidak dengan niat memutus keturunan.
Kedua, Makruh
Pernyataan itu berdasarkan beberapa hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bakar, Umar, Ali, Ibnu Umair dan Ibnu Umair yang membenci Azl karena dapat mengurangi jumlah keturunan yang dianjurkan syara’ Sabda Nabi saw “Menikahlah kalian dan memperbanyak keturunan”
Ketiga, Boleh Apabila Ada Kerelaan Istri
Pendapat yang berdasarkan dari Imam ahmad berdasarkan sebuah Hadits dari Umair yang diriwayatkan Ibnu Majah Dari ‘Umar ibn al-Khattab berkata: “Nabi melarang perbuatan ‘azl terhadap wanita merdeka kecuali seizinnya”. (HR Ibnu Maajah Vol 1 Hal 620)
Perlunya kerelaan dari pihak istri ini dikarenakan istri memiliki Hak atas anak sehingga dengan tindakan Azl akan menghilangkan haknya namun apabila istri memberikan memberikan izin hukumnya tidak makruh.
Terakhir, Haram
Pendapat ini dilansir oleh kalangan Dhohiriyyah dengan tendensi hadits yang diriwayatkan dari Judzamah Ra “Sesungguhnya para shahabat bertanya tentang Azl, Nabi menjawab hal itu adalah pembunuhan anak dengan samar” (HR. Muslim). (*)