# Muharram dan Sekte-sekte Politis #
Tanggal 10 Muharram tahun 61 kalender Islam. Perang tak seimbang
itu tidak harus terjadi. Hanya sekitat 120 orang dari pihak Imam Husein Ali
melawan ribuan pasukan Yazid I dibawah pimpinan Umar Bin Sa’ad. Banjir darah
terjadi. Seluruh muslim Syi’ah mengenang peristiwa itu sebagai peristiwa
menyakitkan. Peristiwa Karbala!
Pembuka diatas hanya setitik sejarah dari rangkaian panjang
pertikaian politik yang berakhir duka diantara ummat Islam setelah wafatnya
Rasulullah. Kelak, segala macam pertentangan yang beraroma kekuasaan inilah
yang secara faktual menyebabkan ummat Islam terpecah menjadi puluhan golongan
yang berbeda dalam hal penafsiran agama satu sama lain.
Api ketegangan sudah muncul saat peristiwa terbunuhnya Usman Bin
Affan, khalifah ketiga Ummat Islam yang menggantikan posisi Rasulullah setelah
Abu Bakar dan Umar Bin Khattab. Usman adalah salah seorang suku Quraisy serta
sahabat yang berjasa besar dalam proses perjuangan Nabi. Ia kemudian diberi
amanah menjadi khalifah dalam sebuah rapat demokratis yang dihadiri Ali bin Abi
thalib,Thalhah bin Ubaidillah ,Zubair bin Awwam dan Saad bin abi waqash, plus
sahabat-sahabat lainnya. Malang baginya, hidup sang pemimpin berakhir dengan
tidak wajar. Ia dibunuh.
Tibalah giliran Ali Bin Abi Talib yang memimpin. Siapa yang tak
kenal dia, pemuda sepupu dan menantu Nabi, yang padanya diberikan keluasan ilmu
dan ketangkasan berperang. Sayang, Ali terpilih dalam kondisi politik tidak
stabil. Sejumlah tokoh lain seperti Thalhah, Zubair, termasuk Muawiah yang
merupakan kerabat Usman Bin Affan, secara terang-terangan menolak
kepemimpinannya. Ia disangkut-pautkan dengan kasus terbunuhnya Usman dan
memancing kebencian Muawiyah yang pada masa selanjutnya akan menjadi peletak
cikal bakal Dinasti Umayyah yang memburu pengikut Ali dimanapun berada.
Terjadi perang Siffin pada tahun 36 Hijriyah (657 M) antara
pihak Ali dan Muawiyah. Kepemimpinan Ali berakhir dengan terbunuhnya ia oleh
orang-orang yang justru mencintainya tetapi kesal atas sikap lembeknya terhadap
musuh. Sistem pemerintahan pasca Ali berubah drastis dari demokratis ke monarki
(dinasti). Dinasti Umayyah muncul dibawah komando Muawiyah yang merupakan musuh
kelompok Ali.
# Sekte-sekte politis
Terpecahnya ummat Islam menjadi puluhan aliran/sekte pada
masa-masa perkembangan Islam adalah fakta sejarah. Lebih jauh lagi, fakta
sejarah juga menunjukkan bahwa munculnya aliran-aliran dalam Islam diawali oleh
pertentangan politik. Segala macam fondasi akidah, fiqih dan
pandangan-pandangan keagamaan yang berkembang di masing-masing aliran terjadi
belakangan setelah aliran-aliran tersebut membentuk diri.
Dimulai dari masa akhir kepemimpinan Ali sebagai Khalifah.
Sebagian pengikut setia yang menganggap Ali terlalu lembut pada musuh-musuhnya
terutama Muawiyah, memisahkan diri darinya. Dalam sejarahnya, mereka ini
disebut kaum Khawarij yang secara bahasa berarti “keluar kelompok”. Kaum
Khawarij membenci Ali dan Muawiyah. Mereka merencanakan pembunuhan kepada
keduanya, namun hanya berhasil membunuh Ali. Ali sendiri tidaklah kehabisan
pengikut. Masih banyak yang mengikuti garis politiknya. Mereka disebut Syiah
seperti yang kita kenal hingga saat ini.
Lambat laun, pelan dan pasti, Khawarij dan Syiah memiliki
landasan tafsir berbeda terhadap agama dalam konteks kesejarahan mereka
masing-masing. Khawarij misalnya, memiliki ajaran bahwa kaum muslimin yang
terlibat dalam perang Jamal, yakni perang antara Aisyah, Thalhah, dan Zubair
melawan Ali ibn Abi Thalib dan pelaku arbitrase (termasuk yang menerima dan
membenarkannya) dihukumi kafir. Mula-mula dari soal-soal ini, terus meluas dan
meluas ke arah ajaran-ajaran lain, cara perbidatan dan lain-lain. Syiah pun
demikian. Mula-mula dari doktrin Ahlul Bait, yaitu Ali, Fatimah, Hasan, Husain
dan 9 Imam dari keturunan Husain adalah manusia-manusia suci, berkembang
menjadi semesta pemikiran dan tindakan beragama yang beragam. Baik Syiah dan
Khawarij kemudian terpecah lagi menjadi beberapa aliran kecil.
Muawiyah berhasil menancapkan akar dinastinya dengan sangat kuat
dan dalam, meski setiap saat harus mewaspadai gerakan-gerakan perlawanan
pengikut Ali (syiah) maupun kelompok-kelompok lainnya. Sekitar 90 tahun dinasti
ini berdiri, raja demi raja terus berganti. Kehidupan sosial kurang lebih bisa
ditata dengan baik, ekspansi kekuasaan dilakukan secara bertahap dan terukur.
Sejak berdiri hingga perjalannnya yang terbilang pendek, Dinasti
Umayyah mengemban misi pencitraan atas sejarah buruk bagaimana dinasti ini
dibangun pertama kali. Cara licik Muawiyah menyingkirkan Ali sebagai khalifah
ke-4 yang sah harus dikaburkan dalam buku-buku sejarah mendatang. Mungkin pula
dengan cara seperti ini, kelompok Syiah dapat “disadarkan” dengan pelan. Dari
dinasti inilah muncul pemahaman-pemahaman berbeda tentang peristiwa – peristiwa
sebelumnya. Secara umum, keyakinan sejarah yang dikampanyekan saat itu adalah:
Ummat Islam telah mendapat finah yang besar.
Pada masa inilah kelompok agama yang menamakan diri mereka ahli
Sunnah menyusun bentuknya. Entah karena secara kebetulan mulai hidup dalam masa
kemapanan Dinasti Umayyah, ajaran ini dikenal dengan ajaran-ajarannya yang
cenderung ditengah-tengah, termasuk dalam penyikapan sejarah sebelumnya. Kasus
terbunuhnya Usman Bin Affan, Ali Bin Abi Talib, terjadinya perang jamal dan
perang Siffin, diterjemahkan menjadi semacam skenario besar yang dilakukan oleh
orang luar yang ingin memecah belah persatuan ummat. Sejarah pertarungan
politik kekuasaan sejak setelah wafatnya rasul hingga terjungkalnya Ali
disederhanakan dengan menyebutnya fitnah yang ditimbulkan orang-orang luar.
Posisi seluruh khalifah dimuliakan, pun dengan Khalifah Ali yang menjadi milik
kaum Syiah.
Dalam pandangan saya, kelompok Ahli Sunnah (yang selanjutnya
lebih dikenal dengan kelompok Ahlussunnah Wal Jamaah atau Sunni) “sengaja”
lahir untuk meredam pandangan-pandangan frontal Syiah maupun khawarij. Sikapnya
yang ditengah-tengah dikondisikan negara untuk menghindari ummat dari kegaduhan
perang. Sunni lantas disebut sebagai aliran agama yang moderat, baik dari
pandangan akidahnya, tata fiqh dan nilai-nilai lain yang diusung.
Sementara itu pada rentang waktu yang bersamaan, api dendam
Syiah masih menyala dibalik kemegahan Dinasti Umayah. Perlawanan sudah mulai
hidup setelah Muawiyah diganti oleh anaknya, Yazid Bin Muawiyah.
Ketika Yazid bin Muawiyah naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka
di Madinah tidak mau menyatakan setia kepadanya, termasuk didalamnya Husain,
anaknya Ali Bin Abu Talib. Bersamaan dengan itu, kelompok Syi'ah melakukan
konsolidasi (penggabungan) kekuatan untuk melakukan perlawanan. Pada tahun 680
M, Yazid bin Muawiyah mengirim pasukan untuk memaksa Husain bin Ali untuk
menyatakan setia, Namun terjadi pertempuran yang tidak seimbang yang kemudian
hari dikenal dengan Pertempuran Karbala, Husain bin Ali terbunuh, kepalanya
dipenggal dan dikirim ke Damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbala sebuah
daerah di dekat Kufah.
Kengerian politik yang berujung pada peristiwa perang ini terus
berlangsung hingga jatuhnya Dinasti Umayyah dan digantikan oleh Dinasti
Abbasiyah (750) yang berpusat di Bagdad-Irak. Posisi berhadap-hadapan Syiah dan
penguasa kala itu, baik secara terang-terangan maupun tersembunyi terus terjadi
hingga pada akhirnya pasukan Mongolia datang dan mencabik-cabik dinasti itu.
Kini menjadi luculah semuanya, ketika ummat ini saling menghujat
atas nama perbedaan cara pandang beragama, yang perbedaan itu semua disandarkan
pada ketentuan-ketuan ketat, tokoh-tokoh agama yang katanya ‘alim.
Menjadi-jadilah rasa lucu ini ketika mengetahui bahwa akar perbedaan pandangan
tersebut adalah sejarah politik. Betapa tidak masuk di akal jika saling
serang-menyerang terjadi atas dasar perbedaan candang ber-Islam, teriakan
Allahu Akbar menggema baik dari musuh maupun kawan, jika awal dari semua ini
adalah perebuatn kekuasaan semata.
Atas masalah ini, tidak masalah jika menteri agama menegaskan
bahwa yang terjadi adalah ketegangan berlatar belakang keluarga. Tidak masalah
juga jika yang lain mengatakan bahwa kejadian ini berlatar belakang asmara.
Tidak masalah dengan sikap menyederhanakan ini, karena memang demikianlah watak
semua kita, cenderung menyederhakanan masalah.
Ini adalah tali panjang ketegangan Sunni-Syiah yang membentang
kemana-mana, ke daerah-daerah lain, bahkan mungkin ke negara-negara muslim yang
tengah menikmati perang. Tali panjang ketegangan yang berlatarbelakang malasnya
kita membuka babak sejarah sendiri dan berujung pada kesalahan sikap.
Ketegangan terus dilembagakan, ulama-ulamanya membuat fatwa kesesatan antara
satu dengan yang lain, di masjid dan majelis taklim riuh dengan soal
halal-haram beribadah kelompok lain. Cara yang demikian terus menjalar. Kini
bukan lagi antara sunni dan syiah, tapi Sunni dan Ahmadiyah, antara Sunni dan
Kristen, Islam dan Budha, antar ummat manusia. Melembagakan perpecahan atas
dasar kesalahan membaca sejarah. Sekali lagi negara terlanjur menyederhanakan
kegawatan ini.
# Membaca Keinginan Tuhan
Betapa bodohnya kita yang melihat problem intoleransi beragama
sebagai tema diskusi kelas dua. Kita terlambat sadar bahwa ambruknya tatanan
berbangsa di belahan bumi yang lain justru diakibatkan oleh perdebatan bentuk
Tuhan, seberapa kuatpun kecenderungan ekonomi dibaliknya.
Para pendiri bangsa telah menggariskan dengan jelas bahwa resiko
menjadi bangsa yang majemuk adalah situasi berhadap-hadapannya antar nilai yang
berbeda itu. Problemnya, kita tidak pernah menganggap situasi yang demikian
sebagai syarat pengaya nilai. Keragaman sudah terlalu jauh kita artikan sebagai
persaingan “menghilangkan yang satu, dan mengangkat yang lain”. Garis bernegara
yang sedemikian rupa telah diwariskan para pendahulu seakan sengaja kita
kaburkan, tidak peduli mereka yang kita sebut pahlawan itu berasal dari banyak
latar belakang.
Kemudian, dipakailah cara pandang yang demikian itu untuk
melihat warna-warni keyakinan antar setiap pemeluk agama. Ruh agama paling
hakiki berupa kebersamaan telah dibelokkan menjadi ruh kotak-kotak,
sekat-sekat. Ruh agama paling tinggi berupa pembumian, disalah artikan menjadi
upaya pe-langit-an. Semua terpaku soal teks, semua tidak pernah bicara konteks.
Ruh agama paling atas berupa kedamaian, tinggal berupa ajaran-ajaran yang
disampaikan di pojok-pojok sosial yang paling sempit. Energi bangsa ini
terkuras habis hanya untuk membicarakan bentuk-bentuk yang paling rinci akan
Tuhan , tidak sadar bahwa kita telah membicarakan kesia-siaan belaka
Ummat mayoritas harus benar-benar mengerti akan gerak sosiologis
sebuah agama yang akan terus berkembang baik dari segi ajaran maupun
penganutnya. Para pemeluk keyakinan tidak bisa hilang hak paling asas mereka
hanya karena belum genap berjumlah 80 atau 90 orang sebagai syarat berdirinya
rumah ibadah, seperti yang terjadi dalam kasus pembangunan sebuah Gereja di
Jawa Barat beberapa waktu lalu.
Mayoritas, lewat-lewat sendi-sendi kekuasaan yang mereka miliki
harus melakukan langkah-langkah persiapan mengantisipasi perkembangan para
pemeluk keyakinan. Pertama, pesan pesan pembauran harus terus dikampanyekan.
Indonesia tidak boleh seperti beberapa negara Timur Tengah yang terkoyak akibat
adanya zonasi daerah berdasarkan agama, di zona ini beragama Islam, di zona itu
beragama Kristen, dan lain-lain yang dapat melahirkan gesekan tajam. Ciri
kampung dan kota di Indonesia haruslah multi warna yang memungkinkan mereka
saling mengenal satu sama lain.