Dari “Kenapa Takut Bid’ah?”Alhamdulillah Puji puja dan sukurku
tak henti-hentinya kepada pemilik alam semesta ini, pengatur hidup makhluk ini,
pengasih dan penyayang setiap makhluknya, maha adil, maha bijaksana, maha
pengampun hambanya yang kembali kepadanya. Sholawat dan Salam Allah, Malaikat
dan semua makhluk, tetap tercurah tanpa henti-hentinya kepada makhluk yang
paling mulia, kekasih raja alam, pemimpin manusia, Nabi muhammad SAW, beserta
keluarga, para sohabat, tabi’in, tabi’u tabi’in, dan semua yang mengikuti
mereka hingga Akhir alam ini.
Qashidah Maulid al-Burdah, al-Barzanji atau ad-Daiba’i yang
hampir setiap saat selalu di baca dan dilantunkan oleh sebagian warga di
Indonesia kerap kali dinilai oleh orang-orang Wahhabi sebagai qashidah pujian
terhadap Rasulullah yang ‘keblabasan’, karena di dalamnya tercatat
ucapan-ucapan yang dinilai syirik terhadap Allah. Salah satu contohnya adalah
qashidah sebagaimana berikut:
يَا
مُجِيْرُ مِنَ السَّعِيْرِ فَأَغِثْنِي وَأَجِرْنِي
فِي
مُلِمَّاتِ اْلأُمُوْرِ يَا غِيَاثِ يَا مَلاَذِ
“Wahai Rasulallah yang menyelamatkan dari
Neraka Sa’ir, tolonglah aku dan selamatkanlah aku.Wahai penolongku, wahai
tempat berlindungku di dalam segala perkara-perkara yang sulit.”Dua qashidah
tersebut memberikan pengertian bahwa ad-Diba’i menyifati Rasulullah dengan
sifat sebagai Mujir (penyelamat), Ghiyats (penolong) dan Maladz (tempat
berlidung). Dan hal tersebut dianggap oleh mereka sebagai kata-kata yang
menyekutukan Allah. Karena menurut mereka ketiga kata tersebut hanya layak di
sematkan pada Allah dan bukan kepada makhluk.
Sebelum mengetahui lebih dalam ketiga kata tersebut, harus
difahami posisi antara Khaliq (Dzat pencipta) dan makhluq (yang di ciptakan)
sebagai pijakan hukum apakah yang dilakukan oleh seseorang adalah bentuk syirik
kepada Allah atau tidak. Allah, sebagai sang Al-Khaliq, adalah Dzat yang dapat
memberi manfaat dan madharat, sementara makhluk tidak mempunyai daya apa-apa
untuk memberikan manfaat atau madharat kepada orang lain. Begitu juga, Allah
al-Khaliq, dapat memberi petunjuk atau hidayah kepada makhluk, namun makhluk
sebagai hamba lemah tidak dapat melakukannya. Hal ini yang dii’tiqadkan oleh
segenap pengikut Ahlussunnah wal Jama’ah.Manusia, termasuk Rasulullah dan
lain-lain yang di sifati dengan kata mujir, ghauts dan maladz (semua mempunyai
makna memberikan pertolongan atau perlindungan) adalah dalam kapasitas sebagai
makhluk dan bukan sebagai Tuhan, Sang Khaliq Yang Maha Segalanya. Jadi, ada
sekat jelas antara maqam (kedudukan) khaliq dan maqam makhluq.
Sekedar contoh, jika kita minta pertolongan atau meminta
perlindungan kepada seseorang karena kita sedang kesusahan, dirundung
marabahaya, atau akan dicederai orang lain misalnya, apakah berarti kita telah
musyrik atau menyekutukan Allah karena tidak meminta perlindungan langsung
kepada Allah? Tentu jawabnya tidak setelah kita memahami antara kedudukan
khaliq dan makhluq diatas!?
Selanjutnya akan kita kupas ketiga kata tersebut:
Kata MujirLafaz mujir bukan termasuk Asma’ul Husna (Nama-Nama
Allah yang Indah), karena nama tersebut tidak ada dalam 3 riwayat hadits
tentang Asma’ul Husna yang ditulis oleh as-Suyuthi dalam al-Jami’ ash-Shaghir.
Selain dari pada itu, al-Munawi berpandangan bahwa—sesuai pendapat yang
kuat—membuat shifat atau nama (secara khusus) untuk Allah adalah tauqifi
(langsung dari Rasulullah) sehingga tidak boleh membuatnya sendiri miskipun
materi lafaznya ada, kecuali ada langsung dalam al-Qur’an atau hadits
shahih. Mengenai kata Mujir, dalam al-Qur’an surat al-Mu’minun ayat 88 Allah
berfirman:
قُلْ
مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيرُ وَلا يُجَارُ عَلَيْهِ إِنْ
كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Katakanlah: ‘Siapakah yang di tangan-Nya
berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi (menyelamatkan)
tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (adzab)-Nya, jika kamu mengetahui.”
Dalam Surat at-Taubah ayat 6 Allah berfirman:
وإنْ
أَحَدٌ مِنَ المُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتّى يَسْمَعَ كَلاَمَ اللهِ
ثُمَّ أَبلِغهُ مَأْمَنَهُ
“Dan jika seseorang di antara orang-orang
musyrik itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah dia supaya ia
sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ke tempat yang aman
baginya.”
Kedua ayat tersebut memberikan pengertian bahwasannya sifat
mujir (penolong) tidak hanya disematkan pada Allah, akan tetapi selain Allah
juga dapat mempunyai sifat tersebut. Artinya, kata mujir bisa saja disifatkan
pada Allah atau selain Allah. Dan, bagi selain Allah seperti Rasulullah atau
yang lain, pertolongan yang diberikan adalah kadar kapasitasnya sebagai manusia
atau makhluk bukan sebagai khaliq, yaitu seperti memintakan syafaat umatnya
supaya tidak disiksa oleh Allah atau syafa’at supaya mendapatkan ampunan dari
Allah dan lain-lain. Sama halnya dengan kata ar-Rauf dan ar-Rahim yang juga di
sematkan pada Rasulallah, selain kedua kata tersebut juga termasuk asma’ul
husna bagi Allah. Dan keduanya mempunyai sekat yang jelas antara Tuhan dan
makhluk.( Mengenai pembahasan memohon syafa’at setelah Rasulullah wafat, lihat
secara khusus dalam kitab At-Tahdzir ‘an al-Ightirar bima Ja’a fi Kitab
al-Hiwar hal 141 dengan di sertai dalil-dalilnya yang kuat. Hal ini
merupakan bantahan terkait dengan tuduhan aliran Wahhabiyyah – salah satunya
adalah Abdullah bin Mani’ pengarang kitab Hiwar ma’a al-Maliki- bahwa memohon
syafaat Rasulallah setelah beliau meninggal adalah termasuk perbuatan syirik ).
Sayyid Hasyim ar-Rifa’i saat menjelaskan kemampuan Rasulullah
dalam memenuhi kebutuhan dan menghilangkan kesusahan para manusia (dalam
shalawat Nariyyah) mengatakan bahwa memenuhi berbagai kebutuhan dan
menghilangkan kesusahan adalah Allah yang dapat melakukannya dengan tanpa
bimbang sama sekali kecuali orang kafir dan orang yang bodoh. Sedangkan
menisbatkan pekerjaan tersebut kepada Rasulullah adalah nisbat majazi (nisbat
yang tidak haqiqi atau dalam ilmu balaghah di sebut majaz aqli).
Kata GhiyatsAsma ghiyats (al-Mughits) banyak diakui sebagai
salah satu sifat Rasulullah. Meskipun Allah juga mempunyai asma ghauts
(al-Mughits) dan tercatat sebagai Asma’ Husna dalam satu riwayat. (Fatawi
Haditsiyyah hlm. 204. Darul Fikr.)
Artinya, sebagaimana Allah yang menyandang sifat ghauts, selain
Allah seperti Rasulullah atau selainnya juga bisa menyandang sifat tersebut,
namun dalam koredor kapasitasnya sebagai seorang makhluq. Dengan begitu,
sifat ghauts yang dimiliki Rasulullah adalah sifat menolong dan membantu insan
lain dari segala kesusahan dan lain-lain dan hanya sebatas yang dimampuni oleh
Rasulullah, seperti memintakan syafa’at kepada Allah agar supaya orang-orang tertentu
diampuni, diselamatkan dari siksa api neraka, derajatnya di tinggikan dan
lain-lain.Dalam sebuah hadits shahih riwayat al-Haitsami dalam Majma’
az-Zawa’id juz 10/159 dan ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir disebutkan:
لاَ
يُسْتَغَاثُ بِى إِنَّمَا يُسْتَغَاثُ بِاللهِ
“Aku tidak dibuat untuk itighatsah, tapi
yang dibuat istighatsah adalah Allah.”
Hadits ini kerap sekali di buat dalil tentang keharamannya
melakukan istighatsah (meminta tolong) kepada Rasulallah oleh mereka
orang-orang yang ingkar terhadap legalnya beristighatsah, namun membuat dalil
hadits di atas sebagai pelarangan adalah kesalahan, karena jika yang di
maksudkan adalah haram beristighatsah kepada Rasulullah secara mutlak, niscaya
akan bertentangan dengan apa yang di lakukan oleh para shahabat yang juga
melakukan istighatsah, bertawassul dan memohon do’a kepada beliau. Dan
Rasulallah melayani dengan senang hati. Maka dari itu, hadits diatas butuh
penta’wilan dan penjelasan.
Menurut Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki dalam Mafahim Yajib an
Tushahhah hal. 188, sabda Rasulallah tersebut bertujuan menetapkan hakikat
tauhid dalam pondasi i’tikad (aqidah) yang sebenarnya, yakni bahwasannya
al-Mughits secara hakikat adalah Allah, sementara hamba hanya berkapasitas
sebagai perantara dalam hal yang dimaksud. Atau Rasulullah dalam hadits diatas
bermaksud memberi pengertian kepada para shahabat agar tidak meminta kepada
hamba tentang sesuatu yang tidak mampu di lakukannya, seperti memasukkan ke
dalam syurga, selamat dari api neraka atau menanggung mati husnul khatimah.
Sebagai bukti bahwa makhlukpun dapat di sifati mughits adalah
dalam al-Qur’an surat al-Qashash ayat 15 disebutkan berikut:
وَدَخَلَ
الْمَدِينَةَ عَلَى حِينِ غَفْلَةٍ مِنْ أَهْلِهَا فَوَجَدَ فِيهَا رَجُلَيْنِ
يَقْتَتِلاَنِ هَذَا مِنْ شِيعَتِهِ وَهَذَا مِنْ عَدُوِّهِ فَاسْتَغَاثَهُ
الَّذِي مِنْ شِيعَتِهِ عَلَى الَّذِي مِنْ عَدُوِّهِ فَوَكَزَهُ مُوسَى فَقَضَى
عَلَيْهِ
“Dan Musa masuk ke kota (Memphis) ketika
penduduknya sedang lengah, maka didapatinya di dalam kota itu ada dua laki-laki
yang berkelahi, yang seorang dari golongannya (Bani Israil) dan yang seorang
(lagi) dari musuhnya (kaum Fir’aun). Maka orang yang dari golongannya meminta
pertolongan kepadanya untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya lalu Musa
meninjunya dan matilah musuhnya itu.”
Dalam hadits shahih tentang doa istisqa’ (meminta hujan) yang
masyhur diriwayatkan oleh Abu Dawud (no 988), Ibnu Majah (no 1260), al-Hakim
(no 1226), al-Baihaqi (no 6230), dan lain-lain disebutkan:
اللَّهُمَّ
اسْقِنَا غَيْثًا مُغِيثًا
“Wahai Allah, berilah kami hujan yang dapat
menolong.”
Hadits doa meminta hujan tersebut menggunkan kata “mughits”
(hujan yg memberikan pertolongan) serta yang mengajarkan adalah Rasulullah.
Kata MaladzMaladz artinya, Rasulullah merupakan ghiyats bagi orang-orang
yang meminta perlindungan atau menjadi tempat berlindung saat Allah sedang
murka. Pengertian kata ini juga sama dengan 2 kata di atas, artinya
Rasulullah mampu melindungi sekedar kapasitas kemampuan beliau. Termasuk
perlindungan Rasulullah di akhirat adalah ketika para makhluk merasa keberatan
dan kepanasan di padang makhsyar, yaitu supaya semua makhluk sesegera mungkin
dihisab oleh Allah (syafa‘atul ‘uzhma atau maqam mahmud).Dalam sebuah hadits
shahih riwayat al-Bukhari, dalam Shahih-nya:
قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ
النَّاسَ حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِي وَجْهِهِ مُزْعَةُ
لَحْمٍ وَقَالَ إِنَّ الشَّمْسَ تَدْنُو يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يَبْلُغَ
الْعَرَقُ نِصْفَ الْأُذُنِ فَبَيْنَا هُمْ كَذَلِكَ اسْتَغَاثُوا بِآدَمَ ثُمَّ
بِمُوسَى ثُمَّ بِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Rasulullah bersabda: ‘Sesungguhnya
matahari pada Hari Kiamat telah dekat sehingga keringat manusia akan mencapai
separuh telinga. Pada saat itu mereka meminta tolong (ghauts)kepada Adam,
kemudian kepada Musa, dan terakhir kepada Muhammad Saw.”
Itulah jawaban yang harus disampaikan, karena ucapan para
penyair yang menulis qashidah mada’ih an-nabawiyyah (puji-pujian Nabi) seperti
al-Barzanji, ad-Diba’i dan al-Bushiri dalam al-Burdah adalah sudah benar adanya
dan tidak menyelisih dari ajaran Rasulullah. Selain itu, mereka juga
muslim taat yang sangat berhati-hati dan menghindari hal-hal yang berbau
syubhat dan syirik. Apakah penyair-penyair di atas sedemikian bodoh dan hina di
mata mereka?! Demi Allah, mereka adalah orang soleh!